Besar Kekhawatiran Masyarakat Adat saat Meratus Diusulkan Jadi Taman Nasional

Reading time: 2 menit
Masyarakat adat dan masyarakat sipil menolak usulan penetapan kawasan Pegunungan Meratus sebagai taman nasional. Foto: Walhi
Masyarakat adat dan masyarakat sipil menolak usulan penetapan kawasan Pegunungan Meratus sebagai taman nasional. Foto: Walhi

Jakarta (Greeners) – Masyarakat adat dan masyarakat sipil menolak usulan penetapan kawasan Pegunungan Meratus seluas 119.779 hektare sebagai taman nasional. Mereka khawatir kebijakan tersebut berpotensi merampas ruang hidup masyarakat adat, membatasi akses terhadap sumber daya alam, serta mengabaikan sistem pengelolaan hutan yang telah lestari dan diwariskan secara turun-temurun.

Masyarakat Adat Meratus yang mendiami kawasan Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan, telah hidup berdampingan dengan hutan jauh sebelum terbentuknya negara Indonesia. Bagi mereka, hutan ibarat ibu yang menyimpan sumber kehidupan, mulai dari obat-obatan hingga kebutuhan ekonomi.

“Jika wilayah adat kami jadi taman nasional, ke mana lagi kami akan pergi dan bagaimana kehidupan masa depan kami?” ujar perwakilan Masyarakat Adat Meratus, Anang Suriani dalam diskusi publik bertema “Taman Nasional Meratus untuk Siapa?” pada Rabu (13/8).

Anang juga menegaskan bahwa penetapan taman nasional akan menghilangkan budaya dan kearifan lokal, termasuk tradisi behuma (bertani ladang berpindah). “Jika masyarakat adat tidak menanam padi, sama artinya kami tidak melakukan aru. Kami beraru dari hasil behuma. Bagi kami, hutan adalah sumber penghidupan kami,” tegasnya.

Masyarakat Adat Meratus juga punya peranan besar terhadap Pegunungan Meratus. Mereka mampu melindungi kawasan pegunungan, sesuai nilai-nilai hukum adat dan pengetahuan tradisional yang telah mereka praktikkan selama ratusan tahun.

Menurut Ketua Pengurus Harian Wilayah AMAN Kalimantan Selatan, Rubi, bentuk konservasi oleh masyarakat adat seharusnya mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari negara. Sebab, masyarakat adat terbukti mampu menjaga kelestarian lingkungan Pegunungan Meratus.

“Hal inilah yang membuat pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi hal yang penting untuk pemerintah lakukan,” kata Rubi.

Buka Jalan Masuk Bisnis

Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan menduga kuat bahwa penetapan taman nasional di Pegunungan Meratus, tidak lepas dari kepentingan penguasaan wilayah. Langkah ini dikhawatirkan sebagai upaya membuka jalan bagi masuknya bisnis ke kawasan tersebut. Sehingga berpotensi mengabaikan perlindungan hak-hak masyarakat adat dan keselamatan lingkungan.

Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan, Raden Rafiq mengungkapkan bahwa selama ini Pegunungan Meratus telah dieksploitasi dengan berbagai bisnis ekstraktif seperti tambang dan perkebunan monokultur sawit.

Daya rusaknya juga tampak nyata terhadap ekosistem pegunungan Meratus. Bahkan, telah menyingkirkan masyarakat adat dari ruang hidupnya.

“Mereka kehilangan wilayah kelolanya, mereka terpisah dari ruang hidupnya. Penetapan taman nasional akan semakin memperkuat penyingkiran rakyat,” kata Raden.

Ingkari Hak Masyarakat Adat Meratus

Persoalan penetapan kawasan hutan termasuk taman nasional secara sepihak, juga dinilai sebagai salah satu wujud pengingkaran hak-hak masyarakat adat. Sebab, mereka adalah pemegang hak terdahulu sebelum terbentuknya entitas negara.

Menurut Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM AMAN, Muhammad Arman pengambilalihan wilayah-wilayah adat menjadi kawasan hutan bisa mengancam ruang hidup masyarakat. Hal itu mengakibatkan kemiskinan bagi masyarakat adat.

Dengan demikian, Arman mendesak pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah mangkrak lebih dari 15 tahun. Arman menegaskan agar DPR dan presiden bisa mengambil tindakan nyata untuk memenuhi hak konstitusional masyarakat adat.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top