Jakarta (Greeners) – Insiden tragis meninggalnya seekor anak gajah di Kilometer (KM) 80 ruas jalan GerikβJeli, Perak, Malaysia menjadi pukulan berat bagi dunia konservasi. Gajah merupakan salah satu satwa dilindungi. Kematiannya akibat tertabrak kendaraan menambah panjang daftar korban dari kalangan satwa liar akibat pembangunan infrastruktur yang mengabaikan ruang hidup mereka.
Insiden semacam ini juga bukanlah yang pertama. Peristiwa serupa juga pernah merenggut nyawa harimau. Menurut data dari World Wide Fund for Nature (WWF) Malaysia, sejak tahun 2023 telah terjadi enam kasus kematian harimau akibat tertabrak kendaraan di Malaysia. Hal itu termasuk dua harimau dalam kurun waktu dua bulan di sepanjang jalan raya ini.
Peneliti dan aktivis lingkungan, Rheza Maulana menilai peristiwa-peristiwa ini sebagai bukti kelalaian manusia yang mengabaikan hak hidup makhluk lain. Menurutnya, peristiwa ini juga menunjukkan semakin sempit dan terfragmentasinya habitat satwa liar.
“Satwa seperti gajah itu biasanya punya insting kuat. Mereka tahu jalur, bergeraknya tidak asal. Jadi, kalau ada gajah melintas, kemungkinan itu memang sudah jalurnya gajah. Pertanyaannya, kenapa manusia memotong jalan di situ? Kalaupun terpaksa harus lewat situ, sepantasnya ada pencegahan supaya interaksi negatif manusia dan satwa tidak terjadi,” kata Rheza kepada Greeners, Jumat (16/5).
BACA JUGA: Anak Gajah Kembali Ditemukan Mati di Taman Nasional Tesso Nilo
Kejadian seperti ini bisa terjadi di mana saja, selama pembangunan tidak mempertimbangkan keberadaan satwa liar dan keseimbangan ekosistem. Tanpa perencanaan yang inklusif terhadap alam, konflik antara manusia dan satwa akan terus berulang, baik dalam bentuk satwa yang masuk ke jalan raya maupun ke pemukiman warga.
Ironisnya, lanjut Rheza, ketika konflik terjadi, manusia cenderung saling menyalahkan. Ada yang menyalahkan hewannya karena dianggap βmasuk wilayah manusia”. Ada pula yang menyalahkan manusia karena merusak habitat satwa. Maka dari itu, Rheza menekankan pentingnya pembangunan yang memenuhi kebutuhan manusia tanpa mengorbankan kehidupan alam dan satwa liar penghuninya.
Analisis Dampak Lingkungan
Rheza juga menegaskan bahwa untuk mencegah insiden seperti ini terulang kembali, wajib ada analisis dampak lingkungan pada setiap pembangunan seperti jalan atau pemukiman. Terlebih lagi bila pembangunan berlangsung di habitat satwa liar. Maka dari itu, keberadaan satwa tersebut harus dipertimbangkan dan difasilitasi.
“Tidak bisa kita buat jalan memotong hutan begitu saja, dan berharap tidak ada satwa masuk situ. Harus buat koridor satwa itu, entah yang berbentuk jembatan di atas jalan, lorong di bawah jalan, atau kanopi menggantung. Pada dasarnya, kalau kita yang memecah belah hutan, maka kita bertanggung jawab setidaknya menghubungkan hutan yang terpecah itu,” tambahnya.
Lebih lanjut, Rheza menekankan bahwa manusia yang tinggal di wilayah yang beririsan dengan habitat satwa harus belajar untuk menghormati keberadaan satwa. Manusia perlu sadar untuk tidak mengganggu, tidak memburu, dan menjaga kecepatan saat berkendara.
BACA JUGA: Save Our Forest Giants: Virus Herpes Ancam Populasi Gajah
Selain itu, juga penting untuk memperbanyak rambu dan peringatan di kawasan rawan interaksi dengan satwa liar. Ia juga mengingatkan pentingnya kesiapsiagaan saat terjadi konflik.
Namun, tanggung jawab ini tidak hanya berada di tangan masyarakat yang tinggal dekat hutan. Mereka yang tinggal di wilayah urban atau jauh dari habitat satwa pun memiliki peran. Paling tidak, dengan menyuarakan kepedulian dan mendesak para pemegang kebijakan untuk memperhatikan isu-isu konservasi satwa liar.
βSemua harus berbenah, bukan hanya teknis infrastrukturnya, tapi dari perilaku manusianya juga,” ujar Rheza.
Perlindungan Satwa Liar Mendesak
Sementara itu, WWF Malaysia juga menyoroti insiden kematian anak gajah ini. Menurut mereka, peristiwa ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk memperkuat perlindungan terhadap satwa liar. Khususnya, di sepanjang jalan raya GerikβJeli yang sejak lama menjadi titik rawan penyeberangan satwa.
Para pegiat konservasi dan masyarakat yang peduli terhadap lingkungan telah lama menyerukan berbagai langkah konkret. Di antaranya penegakan batas kecepatan yang lebih ketat, peningkatan penerangan jalan, dan yang paling penting, pembangunan lebih banyak infrastruktur penyeberangan satwa liar. Langkah-langkah ini penting untuk mengurangi kecelakaan fatal yang kerap melibatkan spesies terancam punah, seperti gajah dan harimau Malaya.
Saat ini, memang sudah terdapat satu jembatan khusus untuk satwa liar di sepanjang ruas jalan tersebut. Namun, infrastruktur ini masih jauh dari cukup. Mengingat tingginya frekuensi perlintasan satwa dan tingginya volume kendaraan, butuh lebih banyak jembatan atau terowongan satwa untuk menjamin keselamatan mereka saat melintasi kawasan ini.
Rambu-rambu peringatan memang terpasang sebagai pengingat bagi pengemudi untuk mengurangi kecepatan. Sayangnya, keberadaannya belum cukup efektif. Kendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi terus menjadi ancaman nyata dan menyebabkan kematian satwa-satwa dilindungi.
Oleh karena itu, sudah saatnya mengambil langkah-langkah pencegahan yang lebih konkret. Misalnya, pemasangan pembatas kecepatan permanen atau teknologi pengatur kecepatan otomatis di titik-titik rawan penyeberangan. Hal itu bisa menjadi solusi yang lebih efektif untuk memaksa pengemudi mengurangi laju kendaraannya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia