Dua Akademisi IPB Bambang dan Basuki Menang Gugatan dari PT KLM

Reading time: 2 menit
Dua akademisi IPB Bambang dan Basuki menang gugatan dari PT KLM. Foto: YouTube YLBHI
Dua akademisi IPB Bambang dan Basuki menang gugatan dari PT KLM. Foto: YouTube YLBHI

Jakarta (Greeners) – Gugatan PT Kalimantan Lestari Mandiri (PT KLM) terhadap dua akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo dan Basuki Wasis, resmi tidak dapat dilanjutkan. Putusan ini mendapat sambutan positif dari Koalisi Save Akademisi dan Ahli.

Koalisi Save Akademisi dan Ahli mengapresiasi para majelis hakim. Menurut mereka, putusan ini mencatatkan sejarah sebagai putusan Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) pertama di Indonesia melalui mekanisme putusan sela. Keputusan tersebut berdasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.

Sebelumnya, PT KLM menggugat dua akademisi IPB tersebut karena memberikan keterangan ahli dalam perkara kebakaran lahan gambut. Kebakaran itu terjadi di areal perkebunan PT KLM yang berada di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, tahun 2018. Keterangan tersebut menjadi dasar dalam putusan pengadilan. PT KLM mendapat hukuman bayar ganti rugi materiil sebesar Rp89,3 miliar dan biaya pemulihan sebesar Rp210,5 miliar.

Majelis hakim menegaskan, keterangan ahli yang Bambang dan Basuki sampaikan merupakan bentuk perjuangan atas hak lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal itu sebagaimana dijamin Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).

BACA JUGA: PT KLM Gugat Dua Akademisi IPB atas Keterangan Kasus Karhutla

Peneliti ICEL, Marsya M. Handayani, menilai mekanisme putusan sela adalah langkah efektif untuk menghentikan SLAPP sejak dini. Menurutnya, langkah ini mencegah kriminalisasi dan tekanan terhadap individu yang berpartisipasi dalam perlindungan hukum lingkungan.

“Mekanisme melalui putusan sela menjadi langkah yang efektif dan berkeadilan. Sebab, hal ini memungkinkan penghentian perkara sejak awal tanpa harus menunggu proses persidangan yang panjang, melelahkan, dan berbiaya besar bagi para pembela lingkungan,” ujar Marsya dalam keterangan tertulisnya, Kamis (9/10).

Koalisi Save Akademisi dan Ahli menegaskan bahwa penerapan mekanisme ini merupakan bentuk konkret perlindungan hukum bagi masyarakat, ahli, maupun akademisi. Khususnya, bagi mereka yang menjalankan perannya dalam penegakan hukum dan perlindungan lingkungan hidup.

Teguhkan Prinsip Negara

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai putusan ini sebagai langkah penting dalam meneguhkan prinsip negara hukum, demokrasi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia di Indonesia.

Melalui mekanisme Anti-SLAPP, pengadilan tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga melindungi kebebasan berekspresi. Perlindungan tersebut mencakup kebebasan akademik sebagai dasar kehidupan ilmiah dan demokratis.

“Ke depan, negara dan aparat penegak hukum harus memastikan tidak ada lagi penggunaan instrumen hukum untuk membungkam hak-hak masyarakat dalam memperjuangkan keadilan lingkungan,” ujar Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Edy K. Wahid.

BACA JUGA: Sidang Kasus Kabut Asap Tiga Korporasi di Sumsel Berlanjut

Sementara itu, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji putusan mengatakan putusan ini menjadi pengingat bagi seluruh perusahaan perusak hutan untuk segera menaati hukum dan putusan pengadilan. Baginya, tidak ada ruang lagi untuk mencoba memanjarakan pejuang lingkungan demi keuntungan segelintir orang.

Koalisi Save Akademisi dan Ahli berharap putusan ini dapat menjadi rujukan bagi pengadilan lain dalam menangani kasus-kasus serupa. Mereka juga menilai keputusan ini penting untuk memberikan perlindungan optimal bagi siapa pun yang berjuang untuk kelestarian lingkungan hidup di Indonesia.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top