Dua Spesies Anggrek Baru Ditemukan di Kepulauan Raja Ampat, Status Kritis

Reading time: 3 menit
Penemuan dua spesies anggrek baru. Foto: BRIN
Penemuan dua spesies anggrek baru. Foto: BRIN

Jakarta (Greeners) – Dua spesies anggrek baru berhasil ditemukan di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Penemuan ini menambah daftar keanekaragaman anggrek Indonesia sekaligus menegaskan pentingnya kawasan Papua sebagai salah satu gudang sumber daya genetik dunia.

Penemuan tersebut berawal dari kegiatan inventarisasi tumbuhan dan pemanfaatannya di Pulau Batanta, Kepulauan Raja Ampat pada tahun 2022. Kegiatan tersebut merupakan kerja sama Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Papua Barat dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Dalam survei itu, tim berhasil mengoleksi berbagai jenis anggrek alam serta mencatat pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat lokal. Beberapa tahun kemudian, sebagian koleksi anggrek hasil survei tersebut mulai berbunga sehingga memungkinkan pengamatan morfologi lebih mendalam.

BACA JUGA: Bulbophyllum wiratnoi, Anggrek Endemik dari Papua Barat

Dari hasil penelitian, teridentifikasi dua spesies baru yang belum pernah dideskripsikan sebelumnya, yaitu Dendrobium siculiforme dan Bulbophyllum ewamiyiuu. Keduanya merupakan anggota baru dari keluarga Orchidaceae. Spesies ini kemudian terpublikasi secara resmi dalam jurnal ilmiah internasional Telopea pada Agustus 2025 dengan nama lengkap Dendrobium siculiforme Saputra, Schuit., & Metusala dan Bulbophyllum ewamiyiuu Saputra, Schuit., & Metusala.

Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN, Destario Metusala mengungkapkan bahwa kedua spesies baru ini merupakan anggrek epifit yang tumbuh menempel secara alami di batang pepohonan.

Dendrobium siculiforme memiliki batang tegak setinggi 15–50 cm dengan daun tersusun berseling. Bunganya muncul dari bagian atas batang dengan jumlah sekitar enam kuntum. Saat mekar sempurna, diameter bunganya mencapai 7 cm dengan warna krem kekuningan berpola guratan cokelat keunguan,” ungkap Destario dalam keterangan tertulisnya, Selasa (14/10).

Nama Ilmiah Mengandung Cerita

Nama ilmiah yang tim pilih memiliki latar belakang tersendiri. Tim riset menggunakan nama “siculiforme”, yang berasal dari bahasa Latin dan berarti berbentuk seperti belati.” Istilah ini merujuk pada bentuk cuping tengah bibir bunganya yang menyerupai senjata tersebut. Spesies ini memiliki kemiripan dengan Dendrobium magistratus, namun berbeda dalam karakter perbungaan serta bentuk sepal dan bibir bunganya.

Sementara itu, Bulbophyllum ewamiyiuu berukuran lebih kecil, hanya sekitar 8–12 cm dengan satu helai daun di setiap pseudobulb. “Bunganya memang kecil, hanya sekitar 5–6 mm, tetapi warnanya sangat menarik. Sepal dan petalnya berwarna dasar kuning dengan semburat merah marun yang kontras,” jelas Destario.

Ia menuturkan, nama “ewamiyiuu” berasal dari bahasa Batta yang masyarakat Suku Batanta gunakan, yang berarti ‘bergaris’. Nama ini mengacu pada garis-garis kecokelatan yang tampak di antara alur pada bagian pseudobulb-nya. Spesies ini memiliki kemiripan dengan Bulbophyllum graciliscapum, namun berbeda pada bentuk pseudobulb, sepal, dan ornamentasi bibir bunganya.

Spesies Baru Anggrek Terbatas

Berdasarkan data distribusi yang ada, kedua spesies ini diduga merupakan spesies endemik Kepulauan Raja Ampat dengan sebaran alami yang terbatas. Dengan data yang masih minim, tim riset mengusulkan Dendrobium siculiforme berstatus kritis (critically endangered). Sementara, Bulbophyllum ewamiyiuu masuk kategori kekurangan data (data deficient) menurut kriteria IUCN Red List.

Destario menjelaskan, penemuan ini menegaskan pentingnya hutan-hutan di pedalaman Papua sebagai gudang sumber daya genetik yang belum banyak terungkap. “Potensi temuan spesies baru dari Papua sangat besar, tidak hanya dari kelompok anggrek, tetapi juga dari kelompok tumbuhan lainnya,” ujarnya.

BACA JUGA: Penemuan Spesies Baru Dorong Peneliti Gali Keanekaragaman Hayati

Namun, di sisi lain, potensi kerusakan hutan di Kepulauan Raja Ampat menjadi ancaman serius bagi kelestarian habitat alaminya. Karena itu, penelitian keanekaragaman hayati perlu terus dipercepat sebagai riset hulu yang menjadi dasar upaya pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan.

Selain itu, Destario juga mengingatkan adanya risiko pengambilan liar di alam akibat tingginya permintaan pasar. “Kemunculan spesies baru biasanya memicu antusiasme para penghobi untuk memilikinya. Bahkan, Bulbophyllum ewamiyiuu sudah mulai diperdagangkan hingga ke Pulau Jawa,” tambahnya.

Destario menekankan pentingnya kolaborasi berbagai pihak, termasuk komunitas penghobi anggrek, dalam menjaga kelestarian kedua spesies ini. “Upaya konservasi harus dilakukan bersama agar keindahan anggrek-anggrek ini tidak hilang dari belantara Papua,” pungkasnya.

Publikasi ini merupakan hasil kerja sama tim riset antara Reza Saputra (Kementerian Kehutanan), Destario Metusala (BRIN), Andre Schuiteman (Kew Botanic Gardens, Inggris), Yuanito Eliazar (Indonesian Society of Botanical Artists), serta Ashley Field, Katharina Nargar, dan Darren Crayn (Australian Tropical Herbarium, James Cook University).

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top