Jakarta (Greeners) – Aktivitas tambang nikel di pulau-pulau kecil Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, kembali menuai sorotan. Meski pemerintah mengklaim tidak ada kerusakan lingkungan signifikan, berbagai organisasi masyarakat sipil membantah keras dan menyebut ada dampak ekologis serius yang terabaikan.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyempatkan diri singgah ke tambang nikel PT GAG Nikel di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, pada Sabtu (7/6). Kunjungan singkat ini bertujuan melihat situasi operasi tambang. Selain itu, juga untuk menindaklanjuti keresahan publik atas dampak pertambangan terhadap kawasan wisata di Raja Ampat.
“Saya itu datang ke sini untuk mengecek langsung aja kepada seluruh masyarakat, dan teman-teman kan sudah lihat dan saya juga melihat secara objektif apa sebenarnya yang terjadi dan hasilnya nanti dicek oleh tim saya (inspektur tambang),” ujarnya, melansir situs resmi Kementerian ESDM pada Senin (9/6).
BACA JUGA: Menteri LH Tindak Tegas Perusahaan Tambang Nikel di Raja Ampat
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno, menyampaikan bahwa bahwa tidak ada masalah di wilayah tambang. “Kami lihat juga dari atas tadi bahwa sedimentasi di area pesisir juga tidak ada. Jadi, overall sebetulnya tambang ini gak ada masalah,” tutur Tri.
Namun, pernyataan itu mendapat bantahan dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Organisasi ini menyebut klaim pemerintah sebagai kebohongan besar. Berdasarkan analisis citra satelit, deforestasi di Pulau Gag sepanjang 2017 hingga 2024 tercatat mencapai 262 hektare.
Angka tersebut juga belum mencakup kerusakan wilayah pesisir akibat sedimentasi bekas galian tambang. Selain itu, terumbu karang juga rusak karena lumpur yang terbawa arus laut. Bahkan, terganggunya ekosistem laut oleh aktivitas kapal tongkang pengangkut nikel, serta pantai yang tertutup lumpur.
Menepis Kekhawatiran Publik
Koordinator Nasional Jatam, Melky Nahar mengatakan bahwa Bahlil juga sudah secara terang-terangan menepis kekhawatiran publik, mengenai dampak aktivitas pertambangan nikel terhadap pariwisata di Kepulauan Raja Ampat. Bahlil juga menganggap lokasi tambang Pulau Gag yang ‘hanya’ berjarak 30 hingga 40 kilometer tidak akan berdampak pada aktivitas pariwisata Raja Ampat.
“Mulai dari bupati dan gubernur kompak menutupi kerusakan yang terjadi, dan membuat konferensi pers untuk menyebutkan seluruh kerusakan ekologi yang telah terjadi di Pulau Gag adalah hoax,”Β ujar Melky dalam keterangan tertulisnya.
Ia menambahkan bahwa kini menjadi sangat jelas bahwa Bupati Raja Ampat Orideko Burdam dan Gubernur Papua Barat Daya Elisa Kambu tidak pernah berpihak pada kelestarian alam Pulau Gag.
“Dalam konteks bernegara, menjadi terang bahwa negara yang seharusnya menjadi pelindung bagi lingkungan dan masyarakat, justru berperan sebagai kaki tangan korporasi dalam mengeksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang,” tambah Melky.
BACA JUGA: Raja Ampat Dalam Bahaya, Greenpeace Desak Hentikan Tambang Nikel
Menurut Melky, dengan dalih pembangunan ekonomi, pemerintah mengabaikan prinsip keberlanjutan. Bahkan, pemerintah malah melegitimasi praktik yang merusak ekosistem Raja Ampat.
Pertambangan di pulau kecil merupakan petaka bagi masyarakat dan seluruh kehidupan di dalamnya. Pulau kecil memiliki kerentanan sangat tinggi terhadap sekecil apa pun perubahan bentang alamnya.
Hutan-hutan di pulau kecil merupakan benteng perlindungan alami bagi masyarakat dan keanekaragaman hayati. Mulai dari menjaga iklim mikro, mengatur tata kelola air, menjaga sumber pangan dan sumber air, hingga menjadi salah satu benteng pertahanan alami dari bencana seperti rob hingga tsunami.
Aktivitas pertambangan ini bisa menghancurkan sumber air, sumber pangan, sumber obat-obatan herbal tradisional, serta berbagai ruang produksi tradisional warga pulau kecil. Sehingga, pertambangan di pulau kecil sesungguhnya merupakan kejahatan kemanusiaan dan lingkungan.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hanif Faisol Nurofiq dalam konferensi pers tambang nikel di Raja Ampat. Foto: KLH
KLH Klaim Pencemaran di Raja Ampat Tidak Serius
Di tengah perdebatan yang kian menguat, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hanif Faisol Nurofiq juga turut angkat suara. Dalam konferensi pers pada Minggu (8/6), ia menyebut bahwa tambang nikel di Pulau Gag yang dioperasikan dari tambang garapan PT GAG Nikel (GN) selaku anak perusahaanΒ PT Aneka Tambang (Antam), tidak menunjukkan dampak pencemaran yang serius.
“Memang kelihatannya pelaksanaan kegiatan tambang nikel di PT GN ini relatif memenuhi kaidah-kaidah tata lingkungan. Artinya, bahwa tingkat pencemaran (di Raja Ampat) yang tampak oleh mata itu hampir tidak terlalu serius,” ujar Hanif dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (8/6).
Meskipun belum terjun langsung ke lokasi, Hanif sudah menurunkan tim Kementerian Lingkungan Hidup pada 26 Mei 2025-31 Mei 2025. Tim KLH melakukan pengawasan di empat perusahaan, salah satunya PT GN.
Hanif menjelaskan bahwa PT GN yang beroperasi di Pulau Gag yang masuk dalam kategori pulau kecil dengan luas 6.030 hektare. Kontrak karya mereka mencakup wilayah 13.136 hektare, seluruhnya berada dalam kawasan hutan lindung.
Ia menegaskan bahwa izin menambang di kawasan ini berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2004. PT GN merupakan salah satu dari 13 kontrak karya yang diperbolehkan untuk menambang dengan pola terbuka di Kawasan Hutan Lindung. Meski mengakui kemungkinan adanya pelanggaran, ia menyebut skalanya masih tergolong minor. Hanif juga berjanji akan mengevaluasi kembali izin lingkungan perusahaan tersebut.
Tak Ada Penghentian Total Tambang
Sementara itu, Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan Jatam, Muh Jamil, menyoroti ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang pertambangan di pulau-pulau kecil.
Meskipun keputusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap, implementasinya hanya terbatas pada aspek administrasi perizinan. Bahkan, tidak ada penghentian total aktivitas tambang di lapangan.
βKetidakpatuhan terhadap putusan MA dan MK memperjelas bahwa negara bukan hanya abai, namun juga turut membiarkan kejahatan ekologis terus terjadi,β tegasnya.
Pulau Sangihe, misalnya, telah menjadi simbol perlawanan masyarakat terhadap tambang ilegal. Namun, meskipun berbagai putusan hukum telah memenangkan warga, perusahaan tambang tetap beroperasi tanpa hambatan. Hal yang sama terjadi di Wawonii.
“Ketika hukum hanya menjadi formalitas tanpa implementasi, negara kehilangan legitimasi sebagai pelindung rakyat. Kemudian, dengan mudah berubah wujud menjadi penindas bagi rakyatnya sendiri,” tambahnya.
Oleh karena itu, Jatam secara terbuka menantang pemerintah segera memenuhi tuntutannya. Jatam tidak menginginkan pemerintah yang hanya melakukan klarifikasi dan berpidato di podium, melakukan penyegelan, dan moratorium palsu.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia