Jakarta (Greeners) – Ramainya tagar #SaveRajaAmpat belakangan ini kembali menarik perhatian publik terhadap bahaya pertambangan. Tidak hanya di Papua, tetapi juga di pulau-pulau kecil Indonesia. Menanggapi hal tersebut, sejumlah tokoh lintas agama menyuarakan keprihatinan dan mendesak pemerintah untuk mencabut seluruh Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah pulau-pulau kecil.
Direktur Green Faith Indonesia, Hening Parlan, menyatakan bahwa aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil mempercepat kehancuran ekosistem yang rapuh serta memperburuk dampak krisis iklim. Ia menekankan bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki tanggung jawab moral, spiritual, dan konstitusional untuk melindungi lebih dari 10 ribu pulau kecil yang tersebar di nusantara.
βDalam Al-Qurβan ditegaskan, ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya’ (QS. Al-Aβraf: 56). Maka, mencabut seluruh IUP yang merusak adalah bentuk taat kepada Allah,β tegas Hening dalam keterangan tertulisnya.
Ia juga menyoroti aspek hukum yang dilanggar oleh kegiatan pertambangan tersebut, khususnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentangΒ Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Ia menambahkan bahwa pertambangan di pulau kecil juga melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007. Khususnya Pasal 35 dan 73. βPemerintah tak boleh berhenti di Raja Ampat. Cinta tanah air berarti melindungi seluruh pulau-pulau kecil dari rakusnya eksploitasi,β tambahnya.
Upasaka Titha Sukho dari Pengerak Peduli Generasi Agama Buddha menyampaikan bahwa merusak hutan tempat tinggal para makhluk, berarti menentang Dhamma dan menanam benih penderitaan atau karma buruk. Sebab, merusak hutan sama saja kita menghancurkan tempat tinggal, tempat mencari makan untuk hidup.
“Dalam agama Buddha jelas melarang manusia merusak hutan atau alam. Karena, itu melanggar aturan moral dan menimbulkan penderitaan baik bagi diri sendiri atau semua makhluk,” kata Titha.
Hal tersebut tercantum dalam Jataka 247 (tittira jataka) Buddha yang menjelaskan bahwa kita harus melindungi hewan-hewan dan alam yang ada, untuk keberlangsungan kehidupan dan tanpa menimbulkan penderitaan baru.
Tak Berpihak pada Lingkungan
Sementara itu, dari Pengasuh Pondok Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar, Roy Murtadho menyampaikan kepedihannya melihat banyak pemimpin yang tidak mencerminkan pandangan yang tidak berpihak pada masyarakat dan lingkungan.
βSeharusnya banyak pemimpin bangsa ini berjuang untuk melindungi ekosistem, bukan justru membela kepentingan tambang. Karena ini menunjukkan dilema etika yang menunjukkan bahwa ada kesenjangan pemahaman antara kepentingan ekonomi dan perlindungan lingkungan,” katanya.
Menurutnya akan ada dampak negatif mencakup kerusakan habitat, pencemaran, dan penurunan kualitas air. Hal tersebut mengandung konsekuensi jangka panjang pada lingkungan dan generasi.
Kerusakan Raja Ampat
Uskup Timika, Mgr. Bernardus Bofitwos Baru OSA, juga menyatakan kesedihan mendalam atas kerusakan lingkungan di Raja Ampat dalam khotbah Misa Hari Raya Pentakosta pada 8 Juni 2025 di Gereja Katedral Tiga Raja, Timika, Papua Tengah.
βPerasaan saya tercabik-cabik. Raja Ampat yang selama ini dimuliakan sebagai mahakarya ciptaan Tuhan, kini dilukai oleh kerakusan manusia,β ujarnya.
Bernardus mengecam aktivitas tambang nikel sebagai bentuk kekerasan terhadap alam dan masyarakat Papua. Ia menyebutnya sebagai bagian dari “ketamakan oligarki” yang menghancurkan keharmonisan antara manusia dan ciptaan Tuhan.
Di samping itu, Green Faith Indonesia menyoroti bahwa transisi energi yang diklaim ramah lingkungan, justru menghadirkan bencana baru. Tambang nikel untuk industri mobil listrik malah menambah penderitaan rakyat dan kerusakan alam. Data Forest Watch Indonesia menyebutkan 5.700 hektare hutan hilang di Maluku Utara sejak 2021.
Studi Nexus Foundation pada Juli 2024 juga menemukan logam berat berbahaya seperti merkuri dan arsenik di tubuh ikan dan darah warga Teluk Weda. Bahkan, kadar logam berat di tubuh warga lebih tinggi dari pekerja industri. Ini adalah bentuk ketidakadilan ekologis.
Kondisi kesehatan warga memburuk. Kasus ISPA melonjak dari 434 (2020) menjadi 10.579 kasus pada 2023, ditambah 500 kasus diare per tahun. βTransisi energi seharusnya selaras dengan nilai keadilan ekologis, bukan menciptakan kezaliman baru atas nama kemajuan,β jelas Hening.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia