Jakarta (Greeners) – Sekelompok aktivis lingkungan bersama Ecological Observation and Wetland Conservations (Ecoton), meminta Australia dan Jepang untuk menghentikan impor sampah plastik ke Indonesia. Pasalnya, sampah impor tersebut bisa menambah beban lingkungan di Indonesia, terutama di wilayah Jawa Timur.
Tuntutan itu mereka sampaikan lewat aksi teatrikal di depan Konsul Jenderal (Konjen) Australia dan Jepang di Kota Surabaya. Aksi ini juga diikuti sebanyak 20 orang gabungan dari Ecoton, mahasiswa Universitas Airlangga, Universitas Tujuh Belas Agustus Surbaya, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya dan LBH Surabaya.
Koordinator Aksi, Alaika Rahmatullah mengatakan setiap bulan ribuan ton sampah plastik dari Australia dan Jepang masuk ke Indonesia. Sampah tersebut belum dikelola dengan baik sehingga bisa menyebabkan pencemaran yang serius dan membahayakan kesehatan.
“Aksi teatrikal ini adalah gambaran bahwasanya manusia telah terpapar plastik dan tenggelam dalam racun plastik, yang membawa dampak buruk bagi kehidupan,” ucap Alaika lewat keterangan tertulisnya.
Indonesia mengimpor 22.333 ton sampah plastik dari Australia pada kurun waktu 2023-2024. Pengiriman sampah tersebut jumlahnya naik 27,9% dari tahun sebelumnya yaitu 16.100 ton.
Sampah plastik impor dari Australia berfluktuasi dan telah aktif mengirimkan sampah sejak tahun 1988. Laporan dari Basel Action Network 2024, menyebutkan bahwa Australia telah mengirimkan sampah plastik ke Indonesia perbulan sekitar 1600 ton.
Sementara itu, Indonesia mengimpor sampah dari Jepang rata-rata 1.500 ton per bulannya. Data statisa mengungkap Jepang telah mengirimkan 12.460 ton pada tahun 2023. Jumlah ini mengalami peningkatan 14,37% setara 10.670 ton sampah plastik pada tahun 2022.
“Impor sampah plastik dari Jepang dan Australia berkontribusi besar terhadap pencemaran lingkungan di Jawa Timur,” tambah Alaika.
Sampah Impor Ancam Lingkungan Jawa Timur
Impor sampah plastik dari Australia dan Jepang, terutama jenis etilen (HDPE dan LDPE) termasuk PET telah menjadi ancaman serius bagi lingkungan Jawa Timur. Peningkatan jumlah impor sampah plastik dari kedua negara ini telah mengakibatkan pencemaran yang signifikan di beberapa daerah. Misalnya, pada wilayah Kecamatan Pagak di Malang, Desa Gedangrowo di Sidoarjo, Desa Bangun, dan Desa Tanjangrono di Mojokerto.
Penelitian Ecoton 2024 mengungkap plastik daur ulang jenis high density polyethylene (HDPE) di Jawa Timur mengandung 346 bahan kimia berbahaya. Di antara bahan-bahan kimia berbahaya, peneliti menemukan 30 bahan kimia berbahaya dengan konsentrasi tinggi pada masing-masing sampel.
Menurut Peneliti Ecoton, Rafika Aprilianti, senyawa beracun yang terdapat dalam plastik memiliki potensi untuk menggaggu sistem endokrin pada organisme, baik manusia maupun hewan. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan dalam fungsi hormonal normal, perkembangan reproduksi, serta peningkatan risiko terkena penyakit serius seperti kanker, penyakit jantung, diabetes, obesitas, dan kondisi kesehatan lainnya.
Rafika menegaskan, industri daur ulang di Jawa Timur juga masih jauh dari mencapai kapasitas optimalnya. Hal itu terbukti bahwa daur ulang melepas emisi karbon yang sangat besar. Sebab, plastik terbuat dari minyak bumi dan mengandung bahan aditif kimia yang sangat toksik dapat meracuni ekosistem di Indonesia.
Membawa Petaka bagi Lingkungan
Investigasi Ecoton terhadap sampah impor ini ternyata berakhir di pabrik pembuatan tahu, pembuatan krupuk, dan usus. Penelitian di akhir tahun 2023, air, udara, tahu di daerah Tropodo yang menggunakan scrap plastik impor dalam proses pembuatannya positif terkontaminasi mikroplastik sebanyak 56 partikel/5 gram.
Sampah impor yang warga bakar dapat melepas racun dioksin yang sangat berbahaya bagi manusia. Apalagi, pembakaran plastik juga bisa melepas mikroplastik.
Kendurnya Pengawasan
Dalam sebuah lanskap yang sudah kritis akibat pengiriman sampah yang kian masif, Indonesia hanya mengizinkan impor barang bekas yang telah disortir dengan baik. Impor tersebut tidak boleh melebihi total 2% dari total volume. Setiap kontainer harus petugas periksa sebelum dikirim, namun pengawasan saat ini mulai kendur.
“Meskipun Indonesia sudah mulai bisa mengendalikan impornya, jaringan global perdagangan barang bekas yang tidak jelas ini masih menjadi permainan kucing-kucingan yang terus berubah,” ujar Pendiri Ecoton, Prigi Arisandi
Menurut Prigi, Indonesia harus segera memperketat regulasi impor sampah plastik dan meningkatkan kapasitas pengolahan sampah dalam negeri.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia