Harga Beras di Indonesia Melonjak 16% Imbas Krisis Iklim

Reading time: 3 menit
Harga beras di Indonesia melonjak 16% imbas krisis iklim. Foto: Freepik
Harga beras di Indonesia melonjak 16% imbas krisis iklim. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Harga beras di Indonesia melonjak hingga 16% pada Februari 2024 akibat kekeringan parah yang terjadi pada tahun sebelumnya. Kejadian ini hanyalah satu dari banyak kasus lonjakan harga pangan global yang dipicu oleh cuaca ekstrem akibat krisis iklim. Tanpa aksi mitigasi yang lebih agresif, masyarakat akan terus tertekan oleh lonjakan-lonjakan dari harga bahan-bahan pangan.

Data tersebut terungkap dalam laporan “Climate extremes, food price spikes, and their wider societal risks”. Laporan yang meneliti 16 kejadian di 18 negara sepanjang 2022–2024, di mana gelombang panas, kekeringan, dan  curah hujan ekstrem memicu lonjakan harga pangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah, dengan suhu global melampaui 1.5°C di atas level pra industri. Tak hanya di Indonesia, gelombang panas ini juga menaikkan harga pangan di Asia Timur. Misalnya, harga kubis yang naik 70% di Korea Selatan pada September 2024, harga beras melejit hingga 48% di Jepang, dan harga sayuran meningkat 30% di China.

BACA JUGA: Pemerintah Harus Miliki Sistem Pemantauan Harga Beras Nasional

Sementara itu, di Amerika Serikat, kekeringan parah di California dan Arizona berkontribusi pada kenaikan harga sayuran hingga mencapai 80% secara tahunan sampai November 2022. Kondisi-kondisi seperti ini menggarisbawahi risiko sistemik yang timbul akibat krisis iklim terhadap rantai pasok pangan global, termasuk Indonesia.

“Selama kita belum mencapai nol emisi, cuaca ekstrem akan terus memburuk dan berdampak pada hasil panen serta harga pangan di seluruh dunia,” ujar peneliti pascadoktoral di Barcelona Supercomputing Centre dan penulis utama
laporan, Maximillian Kotz.

Dampak Meluas

Maximilian menambahkan, saat ini orang-orang sudah mulai menyadari kenaikan harga pangan menempati peringkat kedua dalam daftar dampak iklim yang mereka rasakan. Sementara, dampak iklim pertama adalah panas ekstrem itu sendiri.

Ia mengungkapkan ketika harga pangan naik, keluarga berpendapatan rendah—termasuk di Indonesia—lebih rentan mengurangi konsumsi buah dan sayur yang bergizi. Hal inimeningkatkan risiko malnutrisi serta penyakit kronis seperti diabetes, jantung, dan kanker. Dampaknya juga meluas ke kesehatan mental akibat tekanan pangan dan ekonomi.

“Ketika harga pangan melonjak, keluarga berpenghasilan rendah seringkali terpaksa beralih ke makanan yang kurang bergizi dan lebih murah,” ucapnya.

Krisis Iklim Semakin Berat bagi Indonesia

Kepala Program Iklim dan Ekosistem MADANI Berkelanjutan, Yosi Amelia menambahkan bahwa dampak krisis iklim terhadap ketersediaan pangan semakin berat bagi Indonesia dengan sistem yang sangat bergantung pada satu komoditas, yakni beras. Pasalnya, krisis iklim berpotensi menyebabkan gagal panel hingga melonjaknya harga pangan pokok.

“Sistem pangan kita, terutama yang sangat bergantung pada satu komoditas seperti beras, kini berada di ambang kehancuran. Tanpa perubahan arah kebijakan yang segera, adil, dan fundamental, kita tidak hanya menghadapi krisis iklim, tetapi juga krisis pangan yang berkepanjangan dan kronis,” ujar Yosi.

BACA JUGA: Paparan Panas Ekstrem Ancam Kesehatan Ibu Hamil

Yosi menilai kebijakan lumbung pangan yang pemerintah gagas bukan merupakan solusi yang tepat. Program pembukaan lahan 20 juta hektare untuk pertanian skala besar ini justru mengulang kesalahan masa lalu. Di antaranya sentralisasi, pembukaan lahan dan hutan secara besar-besaran, serta kurangnya keberlanjutan atau integrasi pengetahuan lokal dan praktik adaptif.

“Alih-alih menyelesaikan krisis yang kita hadapi, pendekatan lumbung pangan justru berisiko memperburuknya. Ini bukanlah solusi jangka panjang. Yang benar-benar Indonesia butuhkan adalah transformasi fundamental sistem pertaniannya yang berbasis pada diversifikasi pangan dan penguatan komoditas pangan lokal,” kata Yosi.

Prakiraan Iklim untuk Peringatan Dini

Studi merekomendasikan prakiraan iklim yang dapat memberikan peringatan dini tentang cuaca ekstrem dan dampaknya terhadap tanaman pangan. Dengan demikian, hal itu akan dapat membantu produsen menyesuaikan praktik pertanian. Selain itu, juga bisa mendorong pemerintah serta lembaga keuangan mengelola risiko harga pangan.

Apalagi, kenaikan suhu rata-rata global saat ini tercatat 1,3°C dari level pra-industri. Bahkan, analisis PBB memproyeksikan akan mencapai 3°C. Sejak 2023, dari tahun ke tahun rekor suhu tertinggi terus terlampaui, dan Met Office memperkirakan 2025 akan menjadi tahun terpanas.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top