Indonesia Masih Minim Perlindungan dan Penelitian Sumber Daya Genetik

Reading time: 3 menit
Ilustrasi: pixabay.com

Jakarta (Greeners) – Sumber daya genetik menjadi isu utama dalam Rancangan Undang-Undang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem yang sekarang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016. RUU ini diharapkan mampu menjadi pengganti UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan draf revisi UU nomor 5 tahun 1990 perlu mencakup perlindungan terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional sebagai bagian dari keanekaragaman hayati Indonesia.

Kepala Pusat Keteknikan Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK Indra Exploitasia Semiawan menyatakan bahwa tingkatan keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia harus dilihat mulai dari genetik, spesies, dan ekosistem. Sedangkan potensi sumber daya genetik Indonesia bisa ditemui dalam tumbuhan, satwa, mikroba dan pengetahuan tradisional yang tersebar dalam kawasan konservasi dan di luar kawasan konservasi.

Indra juga mengatakan bahwa selain perlindungan, praktik penelitian terhadap sumberdaya genetik di Indonesia masih sangat lemah. “Contohnya kayak virus yang ditemukan di burung liar, virus H5N1. Kalau ada penelitiannya sebenarnya bisa dijadikan vaksin flu burung. Mestinya kan kita yang bisa mengembangkan vaksinnya,” kata Indra kepada Greners, Jakarta, Minggu (13/03).

Lebih lanjut Indra menjelaskan, jika virus H5N1 tersebut dibawa oleh peneliti asing ke luar dari Indonesia dan mereka berhasil mengembangkan virus tersebut dengan gratis serta merasakan manfaat virus H5N1 yang telah menjadi vaksin, kemudian Indonesia mengimpor virus itu kembali untuk digunakan di dalam negeri. Maka, hal tersebut sebenarnya sudah bisa dikategorikan sebagai biopiracy atau pencurian sumber daya genetik.

Sama seperti kasus buah merah dari papua. Dengan pengetahuan masyarakat tradisional Papua, minyak dari buah merah bisa menjadi anti oksidan bagi tubuh manusia dan memiliki harga yang cukup mahal di pasar luar negri. Di sini, terangnya lagi, peran penting penguatan regulasi untuk melindungi pengetahuan tradisional terhadap buah merah harus diperkuat.

“Pengetahuan ini harus kita lindungi. Kalau pengetahuan ini diketahui asing, dibawa keluar dan dipatenkan, maka akan ‘kebobolan’ (kecurian, Red.) lagi. Nah, dalam revisi uu nomor 5 tahun 1990, kita mengatur itu,” tambahnya.

Lebih jauh, ia mengatakan bahwa dalam Global Health Security Agenda, masih sedikit terpampang data penyebaran penyakit atau virus yang diakibatkan dari habitat alam atau satwa liar. Indonesia sendiri masih minim penelitian akan hal tersebut sehingga Indonesia tidak pernah mengetahui apa saja virus atau penyakit yang diidap oleh satwa liar.

“Kan ada satwa liar yang memang dia genuine-nya begitu. Tapi ketika dia keluar dari habitatnya, virus itu bisa bermutasi. Ini yang kita enggak punya datanya, yang kita punya datanya itu setelah terjadi penularan. Contohnya virus zika yang menyebar di luar negeri. Itu namanya kita sebut emerging infectious disease atau penyakit-penyakit infeksi yang baru. Ini sangat berbahaya,” katanya.

Selain itu, rusaknya habitat satwa liar turut mendukung penyebaran virus dari satwa liar yang masih belum diketahui oleh masyarakat. Seperti misalnya kasus virus H5N1 (flu burung). Pada tubuh burung, virus ini tidak bereaksi karena burung tersebut adalah carier atau pembawa virus. Namun, ketika virus tersebut pindah ke unggas, ditemukan banyak kasus kematian unggas akibat flu burung dan menjadi sangat berbahaya saat unggas yang terkena flu burung tersebut menularkannya pada manusia.

“Di Global Health Security Agenda ini menjadi perhatian serius. Amerika Selatan itu paling besar (kasus H5N1) karena kerusakan hutan tropis mereka juga tinggi ya,” imbuhnya.

Mengenai Global Health Security Agenda, Rahmat Fauzi dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan menyatakan, hingga saat ini yang cukup kuat menjadi acuan hanyalah undang-undang yang terkait dengan konservasi. Sedangkan untuk sumberdaya genetik berupa virus hanya mengandalkan Memorandum of Understanding (MoU) atau Peraturan Menteri. “Ini juga termasuk dengan penelitian tentang virus yang berpotensi ditularkan oleh satwa liar,” ujarnya.

Rahmat menjelaskan, banyak peneliti yang belum paham tentang mekanisme Material Transfer Agreement (MTA) saat meneliti mikroba yang juga termasuk kekayaan genetik. Saat berhasilkan mendapatkan temuan baru, penemuan itu juga tidak bisa langsung di patenkan atau memang tidak bisa dipatenkan oleh peneliti karena terhambat dengan perjanjian penggunaan dan dari luar negri.

Sebagai informasi, Indonesia akan menjadi ketua forum internasional Global Health Security Agenda (GHSA) 2016 menggantikan Finlandia. Forum internasional ini akan membicarakan kerja sama untuk mencegah penyakit menular meluas. Selain itu juga pertemuan ini akan membahas penelitian pemberantasan virus dan bioterorisme agar bisa disatupadukan dengan 40 negara lainnya. Indonesia sebagai ketua forum sekaligus representasi negara berkembang di Asia akan menyusun sikap menjelang pertemuan nanti.

Penulis: Danny Kosasih

Top