Jakarta (Greeners) – Eathink, sebuah pergerakan yang diinisiasi anak muda mengajak konsumen untuk lebih bijak dalam memilih makanan secara berkelanjutan. Gerakan yang menyuarakan tentang keberlanjutan pangan ini telah berlangsung sejak 2018. Gerakan tersebut merupakan inisiasi sejumlah mahasiswa di bidang pangan bernama Food Sustainesia. Pada tahun 2021, Food Sustainesia berganti nama menjadi Eathink yang memiliki arti “konsumen harus berpikir matang dalam memilih makanan”.
Eathink telah membuat sejumlah kampanye secara berkala untuk memberikan edukasi melalui media sosial tentang gaya hidup ramah lingkungan, isu pangan berkelanjutan, dan bijak dalam memilih makanan. Bahkan, mereka telah mendorong masyarakat untuk mencintai produk lokal.
BACA JUGA: 5 Tips Membuat Kebiasaan Makan Lebih Berkelanjutan
Gerakan ini terbentuk karena didorong oleh beberapa permasalahan serius yang saat ini melanda Indonesia. Isu ketimpangan, misalnya. Angka kelaparan saat ini cukup tinggi, tetapi masih banyak sisa makanan. Artinya, meski masyarakat kelaparan, namun banyak juga makanan yang terbuang.
“Akhirnya, kami terdorong untuk mendalami isu-isunya. Ternyata, kesadaran soal isu pangan masih kurang. Kemudian, kami gunakan channel paling mudah sama anak muda, yaitu media sosial seperti Instagram. Eathink juga menyesuaikan cara komunikasi anak muda dengan mengemas konten yang relevan sama anak muda,” ungkap Co-Founder Eathink, Genoveva Jaqualine Wijaya kepada Greeners, Rabu (21/2).
Konsumen Perlu Bijak Pilih Makanan
Eathink pun berharap kampanye yang mereka suarakan melalui media sosial ini bisa meningkatkan kesadaran semua orang mengenai isu pangan berkelanjutan. Lewat tagline #OurFoodChoiceMatters, Eathink ajak publik untuk mindful consumption atau lebih sadar dan bijak dalam memilih makanan. Sebab, apa yang konsumen makan tidak hanya berdampak pada kesehatannya, tetapi juga lingkungan.
“Jadi dalam memilih makanan oleh setiap orang itu penting, karena isunya makanan juga berdampak ke climate change. Nah, dengan mendorong orang-orang agar bisa tahu soal itu, yang kami intervensi adalah konsumen,” tambah Jaqualine.
Eathink pun ingin mengubah kebiasaan konsumen dalam mengonsumi makanan lebih berkelanjutan, artinya pola makanan yang meminimalkan dampak lingkungan dan berkontribusi terhadap ketahanan pangan. Terutama memperhatikan gizi serta menjaga kesehatan generasi saat ini dan generasi mendatang.
BACA JUGA: Food Sustainesia Ajak Generasi Muda Mengenal Sistem Keberlanjutan Pangan
Misalnya, secara berkelanjutan, konsumen harus terbiasa menghabiskan makanannya sehingga tidak menimbulkan food waste. Kemudian, jika ada makanan tersisa, konsumen juga perlu mengomposnya.
Di samping itu, Eathink terus berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran melalui konten edukasi. Sejalan dengan misinya, gerakan tersebut juga akan terus membuat program kelas pembelajaran yang mendorong konsumen untuk mengembangkan kebiasaan berkelanjutan secara konsisten.
Eathink Gaungkan Makanan Lokal
Produk siap saji, makanan dan minuman yang mengandung gula dalam jumlah tinggi kini banyak anak muda gemari. Eathink menyadari, konsumsi produk yang tinggi kandungan gula secara terus-menerus akan berdampak pada kesehatan tubuh. Kendati demikian, mereka terus menggaungkan produk lokal khas Indonesia yang berbasis organik agar bisa digemari oleh masyarakat.
Faktanya, saat ini Eathink telah berkolaborasi dengan para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia. Kolaborasi ini untuk menawarkan makanan yang lebih sehat dan berkelanjutan kepada para konsumen.
“Masalah makanan instan itu karena sudah banyak proses, otomatis secara kandungan nutrisi berkurang. Misalnya, membuat menu diet dan ingin menambahan produk yang processed food itu tidak apa-apa, asalkan bisa diseimbangkan dengan sayuran, buah, dan makanan lokal,” imbuh Jaqualine.
Indonesia mempunyai banyak sumber pangan yang dapat memenuhi kebutuhan gizi. Namun, di pasaran juga terdapat produk instan memiliki kandungan gula dan lemak lebih tinggi yang dapat memicu penyakit kronis. Apalagi, banyak yang menilai makanan sehat masih mahal. Skeptisisme ini membuat generasi muda kurang tertarik terhadap makanan sehat berbahan pangan lokal.
“Padahal, kita punya akses makanan sehat untuk sayur dan buah, di mana Indonesia memiliki sumber nabati yang bersagam dan kita bisa akses itu dengan harga yang sesuai,” ujar Jaqualine.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia