Indonesia Tak Kunjung Serahkan Dokumen Second NDC ke PBB

Reading time: 3 menit
Indonesia tertinggal dalam mitigasi iklim karena gagal memenuhi tenggat pengajuan Second NDC ke PBB. Foto: Freepik
Indonesia tertinggal dalam mitigasi iklim karena gagal memenuhi tenggat pengajuan Second NDC ke PBB. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Indonesia dinilai tertinggal dalam menetapkan strategi mitigasi iklim meski Perjanjian Paris telah berjalan satu dekade. Indonesia gagal memenuhi tenggat pengajuan Second Nationally Determined Contribution (SNDC) ke PBB pada 30 September 2025.

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad pun mendesak pemerintah untuk segera mempublikasikan target iklim terbaru. Pemerintah perlu menerbitkan Second NDC sebelum Konferensi Perubahan Iklim PBB Ke-30 atau COP30 di Belem, Brasil.

“Dokumen tersebut bukan hanya sebagai dokumen global, tetapi juga menjadi tonggak penguatan arah pembangunan Indonesia yang berkelanjutan dan berkeadilan iklim,” ujar Nadia dalam keterangan tertulisnya, Selasa (7/10).

BACA JUGA: KLH Pertahankan Komitmen Iklim Meski AS Keluar dari Paris Agreement

Laporan “A Decade of National Climate Action: Stocktake and the Road Ahead” oleh Deep Decarbonization Pathways (DDP) yang mencatat perkembangan aksi iklim negara-negara di dunia, juga menilai Indonesia termasuk yang lambat dalam upaya ini.

Laporan tersebut mengungkapkan bahwa Indonesia masih tertinggal dalam menerjemahkan strategi jangka panjang menjadi kebijakan konkret lintas sektor. Indonesia juga tertinggal dalam mengatasi hambatan sosial-ekonomi transisi energi demi mitigasi krisis iklim.

Direktur DDP Initiative, Henri Waisman mengatakan bahwa dengan negara-negara memulai merombak tata kelola iklim, memasukkan perspektif jangka panjang ke dalam perumusan kebijakan, dan mempercepat perubahan teknologi, itu menandakan kemajuan signifikan. Namun, pelajaran dari dekade terakhir juga sudah diarahkan dengan jelas.

“Jika kita ingin mencapai target Perjanjian Paris, dekade berikutnya harus menjadi periode untuk memperbesar skala upaya, menghadapi tantangan sosial dan industri, serta memastikan bahwa ambisi secara konsisten diterjemahkan ke dalam tindakan nyata yang efektif,” ujar Henri.

Tingkatkan Ambisi Iklim melalui NDC

Mengacu laporan ini, setelah meratifikasi  Perjanjian Paris sejak 2016, Indonesia telah menaikkan ambisi iklimnya melalui NDC yang diperbarui. Target penurunan emisi sebesar 31,89% secara mandiri dan 43,20% dengan dukungan internasional pada 2030. Bahkan, Indonesia memiliki target net zero pada 2060 atau lebih cepat.

Berbagai strategi Indonesia pun telah bergulir. Mulai dari Strategi Jangka Panjang untuk Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (LTS-LCCR 2050), program FOLU Net Sink 2030, transisi energi, hingga reformasi tata guna lahan berkelanjutan. Namun, ketergantungan tinggi pada batu bara, lemahnya infrastruktur, serta penegakan regulasi yang tidak konsisten dapat mengancam kredibilitas komitmen tersebut.

BACA JUGA: Ironi Transisi Energi: Produksi Energi Fosil Justru Naik

Direktur Eksekutif CERAH, Agung Budiono juga menyoroti atas keterlambatan Indonesia dalam menyerahkan dokumen SNDC. Menurutnya, hal ini akan mencederai kredibilitas Indonesia, sebagai negara yang menyatakan diri sebagai pihak yang serius dalam memitigasi krisis iklim.

“Keterlambatan penyerahan dokumen SNDC ini merupakan bukti bahwa pemerintah sudah hilang arah dalam perencanaan mitigasi iklim,” ujar Agung.

Menurut Agung, hal terseut juga diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 40 Tahun 2025 terkait Kebijakan Energi Nasional (KEN) terbaru. Aturan tersebut masih mengakomodasi ekspansi energi fosil hingga 2060.

Risiko Serius Transisi Energi

DDP juga menekankan bahwa transisi energi Indonesia menghadapi risiko serius. Hal itu mulai dari terjebak pada ketergantungan bahan bakar fosil, keterbatasan pengembangan energi terbarukan, hingga kesenjangan pendanaan iklim.

Selain itu, tantangan sosial-ekonomi seperti potensi hilangnya pekerjaan di sektor fosil, ketimpangan regional, serta keterjangkauan energi juga membuat proses transisi energi di Indonesia semakin sulit.

Padahal, laporan juga mengungkapkan adanya peluang ekonomi hijau yang dapat menciptakan hingga 1,8 juta lapangan kerja baru pada 2030. Terutama di sektor energi terbarukan, transportasi bersih, dan industri berbasis sumber daya.

Melihat laporan tersebut, Agung menegaskan bahwa Indonesia harus memperbaiki dokumen perencanaan ketenagalistrikannya. Tujuan dari perbaikan tersebut untuk membuka ruang rencana mitigasi krisis iklim yang lebih serius.

Laporan DPP juga mendorong Indonesia mengambil langkah perubahan pada 2025-2030, termasuk di sektor energi. Indonesia perlu memperbarui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listri (RUPTL). Hal ini penting agar sejalan dengan target energi terbarukan serta pengetatan pembatasan PLTU captive. Sehingga, bisa memperluas pasar karbon domestik dengan kesiapan integrasi ke mekanisme internasional.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top