Jakarta (Greeners) – Kejaksaan Negeri Aceh Besar berhasil menangani kasus terbaru perdagangan satwa liar terlindungi di Aceh. Atas keberhasilan tersebut, Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) memberikan penghargaan khusus kepada lembaga tersebut sebagai bentuk apresiasi.
Kasus ini menggunakan dasar hukum Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2024, yang merupakan perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya.
Pengungkapan kasus terjadi pada Desember 2024. Saat itu aparat berhasil menangkap dua pelaku berinisial MF (28) dan IR (35) di wilayah Peukan Bada, Aceh Besar. Dari tangan pelaku, aparat menyita 30 kilogram sisik trenggiling. Mereka juga menyita berbagai bagian tubuh satwa lainnya, seperti paruh rangkong, tanduk rusa, kepala rusa, kulit kambing hutan, dan kulit kancil.
BACA JUGA: Kemenhut Gagalkan Penyelundupan 94 Spesimen Satwa Liar
Kedua pelaku dijerat dengan Pasal 40A ayat (1) huruf f jo Pasal 21 ayat (2) huruf c UU No. 32 Tahun 2024. Aturan tersebut secara tegas melarang memperjualbelikan bagian tubuh satwa terlindungi.
Legal Officer Yayasan HAkA, Munira Rezkina menyampaikan bahwa kasus ini menjadi tonggak penting. Sebab, telah membawa aturan tegas, yaitu batas minimal hukuman 3 tahun penjara bagi pelaku.
“Kami mengapresiasi Kejaksaan yang telah serius dalam menerapkan aturan perundang-undangan terbaru ini,” dalam keterangan tertulisnya, Rabu (20/8).
Langkah Maju Melindungi Satwa Liar
HAkA menilai, penerapan minimum hukuman 3 tahun dalam UU No 32 Tahun 2024 sebagai langkah maju dalam melindungi satwa liar, termasuk trenggiling. Selama ini, praktik perdagangan satwa liar dilindungi kerap dianggap kejahatan “low risk, high profit” karena pelaku sering lolos dengan hukuman ringan.
Dengan adanya batas minimal, pelaku akan berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan yang merugikan keanekaragaman hayati dan ekosistem. Lebih lanjut, HAkA menekankan pentingnya sosialisasi UU No. 32 Tahun 2024 kepada penyidik kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya.
Sosialisasi ini krusial agar setiap tahapan penyidikan hingga penuntutan berjalan sesuai dengan ketentuan hukum terbaru. Sehingga, penerapan hukum mencerminkan keseriusan negara dalam melindungi satwa liar dilindungi serta keberlanjutan ekosistemnya.
Menyambut Baik Penghargaan
Kepala Kejaksaan Negeri Aceh Besar, Jemmy Novian Tirayudi, mengapresiasi inisiasi penghargaan tersebut. “Kami sangat menyambut dengan baik dan berbahagia atas dukungan dari NGO, khususnya HAkA. Dukungan ini menjadi motivasi bagi kami untuk terus konsisten dalam menegakkan hukum. Khususny, kasus kejahatan satwa liar yang merugikan kelestarian lingkungan,” ujar Jemmy.
Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Aceh Besar, Rifai Affandi menambahkan pentingnya penerapan UU terbaru sekaligus perlunya sosialisasi. “Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai pentingnya satwa liar sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan dari praktik perdagangan ilegal.”
BACA JUGA: 97 % Perdagangan Satwa Liar di Indonesia Lewat Facebook
Padahal, satwa-satwa ini berperan penting sebagai arsitek hutan yang menjaga keseimbangan ekosistem. Oleh karena itu, penyuluhan dan sosialisasi UU No. 32 Tahun 2024 menjadi sangat krusial. Tidak hanya bagi penyidik dan aparat penegak hukum, tetapi juga bagi masyarakat luas.
“Dalam membangun masyarakat, kesadaran hukum adalah kunci. Kami juga siap terlibat dalam upaya sosialisasi ini, termasuk melalui mekanisme kampanye media,” ungkapnya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































