Satwa Liar di Permukiman Tanda Krisis Habitat di Hutan

Reading time: 2 menit
Munculnya satwa liar di permukiman jadi tanda krisis habitat di hutan. Foto: BRIN
Munculnya satwa liar di permukiman jadi tanda krisis habitat di hutan. Foto: BRIN

Jakarta (Greeners) – Baru-baru ini, satwa liar kerap muncul di wilayah permukiman warga. Macan tutul jawa tercatat masuk ke sebuah hotel di Bandung, sementara seekor harimau sumatra terlihat di kantor Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Agam, Sumatra Barat. Kemunculan dua satwa ini bukanlah hal yang normal, melainkan tanda bahaya atas terganggunya kondisi hutan.

Peneliti Ahli Utama bidang konservasi keanekaragaman hayati Pusat Riset Ekologi BRIN, Hendra Gunawan mengatakan terjadinya peristiwa ini juga sebagai tanda bahaya keseimbangan alam yang terganggu. Baginya, kejadian ini bukanlah kebetulan. Harimau dan macan tutul sejatinya adalah satwa penghuni inti hutan (core habitat species) di mana mereka hidup tersembunyi, jauh dari manusia.

“Kalau mereka sekarang muncul di kebun, jalan raya, bahkan hotel, itu bukan perilaku alami, tapi itu tanda mereka terpaksa keluar dari hutan untuk bertahan hidup,” tutur Hendra di Bogor, Selasa (21/10).

Hendra menjelaskan bahwa di balik kejadian ini terdapat beberapa penyebab yang berlapis. Kerusakan habitat akibat pembukaan lahan, pembangunan jalan, dan pemukiman membuat ruang hidup satwa semakin sempit. Selain itu, ada kemungkinan lain yang terjadi, yaitu satwa tersesat atau mengalami disorientasi spasial. Dalam hal ini, mereka kehilangan orientasi karena terjebak di lingkungan yang tidak dikenalnya.

“Bagi macan tutul, hutan dengan pepohonan adalah referensi visualnya. Begitu ia masuk ke bangunan beton tanpa vegetasi, ia kehilangan arah dan bisa panik. Inilah yang terjadi ketika macan masuk hotel atau kantor,” tambah Hendra.

Fragmentasi Hutan Akar Permasalahan

Menurut Hendra, fragmentasi hutan merupakan akar permasalahan meningkatnya konflik manusia dan satwa liar. Fragmentasi terjadi ketika hutan besar terpecah-pecah menjadi potongan kecil yang terisolasi oleh jalan, ladang, atau permukiman.

Fragmentasi ini lebih berbahaya daripada sekadar pengurangan luas hutan. Ia tidak hanya mengurangi luas, tapi juga memutus konektivitas antarhabitat. Bahkan menghilangkan area inti (core habitat), dan memperpanjang tepian hutan (edge) yang memungkinkan satwa liar menjadi semakin sering berinteraksi dengan manusia.

Dampak dari fragmentasi hutan juga serius. Predator puncak seperti harimau sumatra dan macan tutul jawa membutuhkan wilayah jelajah luas untuk bertahan hidup, namun saat ruangnya terpotong, mereka berebut teritori.

“Yang kalah biasanya jantan muda atau tua, terpaksa keluar mencari wilayah baru, dan sering melewati kebun atau permukiman,” jelasnya.

Hendra menyebutkan telah terjadi sedikitnya 137 insiden konflik manusia-harimau antara tahun 2005 hingga 2023 di 14 kabupaten/kota Sumatra Barat. Sebagian besar kasus ditemukan di kawasan yang hutannya telah terfragmentasi parah, seperti di Lanskap Cagar Alam Maninjau.

Dengan adanya tren fragmentasi yang terus meningkat, Hendra mengingatkan bahwa konflik manusia-satwa liar akan terus berulang, bahkan bisa meningkat. Solusinya bukan sekadar mengevakuasi satwa yang muncul, namun membangun tata ruang dan kebijakan berbasis ekologi.

“RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) harus memuat koridor satwa, jalur jelajah, dan area konservasi yang saling terhubung. Tanpa itu, satwa akan terus keluar hutan karena tak punya lagi ruang hidup,” kata Hendra.

Berdasarkan permasalahan ini, Hendra mendorong pendekatan baru dalam mengelola hubungan manusia dan satwa liar (human–wildlife coexistence), yaitu hidup berdampingan secara berkelanjutan.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top