Jakarta (Greeners) – Peringatan Global Tiger Day setiap 29 Juli mengingatkan kita bahwa harimau–termasuk harimau sumatra–kian terancam. Cerita dari para leluhur dan tradisi adat bisa menjadi cara untuk ikut menyelamatkan mereka.
Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dolly Priatna mengatakan bahwa harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) saat ini berstatus kritis (Critically Endangered) menurut Daftar Merah IUCN. Artinya, kondisi harimau sumatra sangat terancam punah jika tidak ada intervensi konservasi yang efektif.
“Harimau sumatra adalah satu-satunya subspesies harimau yang tersisa di Indonesia, setelah harimau bali dan harimau jawa dinyatakan punah. Masa depan harimau sumatra sangat bergantung pada luas dan kualitas habitatnya yang terus menyusut,” ujar Dolly.
Kendati demikian, untuk meminimalkan risiko kepunahan, perlu pendekatan konservasi yang bisa masyarakat terima, termasuk melalui penguatan kearifan lokal yang telah hidup dan berkembang di masyarakat adat.
“Cerita-cerita dan keyakinan lokal ini berperan penting dalam membentuk perilaku pelestarian hutan dan satwa,” lanjut Dolly.
Cerita Masyarakat dan Harimau Sumatra Tak Terpisahkan
Ketua Forum HarimauKita, Iding Achmad Haidir mengatakan bahwa kearifan lokal atau cerita masyarakat dan harimau sumatra merupakan hal yang tidak terpisahkan. Di Aceh, masyarakat menyebut harimau sumatra dengan sapaan “Rimueng”. Hal ini tercantum dalam sebuah karya buku berjudul Atjeh karya Henri Carel Zentgraaff, seorang penulis asal Belanda.
Zentgraaff menjelaskan bahwa harimau hitam dan harimau putih sebagai penjaga makam tokoh-tokoh yang masyarakat yakini keramat, yang terletak di Teuku Cot Bada, Kabupaten Pidie, Kota Sigli, Aceh. Dari cerita yang beredar, Rimueng biasanya datang ke makam setiap waktu menjelang Magrib.
BACA JUGA: Menelusuri Jejak Hutan Keramat Dusun Kuta
Kemudian, di Sumatra Utara, masyarakat di sana menyebut harimau dengan sapaan ‘Ompung’, dalam Bahasa Batak berarti kakek. Dahulu, terdapat sebuah cerita legenda ‘Babiat Sitelpang’. Cerita ini mengisahkan harimau pincang yang menjaga seorang ibu dan seorang anak yang dibuang ke tengah hutan.
Legenda tersebut secara tidak langsung memengaruhi perilaku masyarakat di sana yang “meminta izin” saat memasuki hutan atau ladang kepada Babiat Sitelpang, sebagai penguasa hutan. Selain itu, masyarakat Batak Mandailing juga percaya bahwa jika ada harimau memasuki pemukiman, artinya ada warga yang melanggar larangan.
Pemerhati Lingkungan dari Sipirok, Sumatra Utara, Kholis Siregar mengatakan di kampungnya, hutan bukan sekadar tempat berburu, melainkan rumah dari ‘Ompung’—harimau yang masyarakat hormati seperti kakek sendiri.
“Kalau ada harimau terlihat dekat kampung, itu tandanya kami harus mawas diri, mungkin ada aturan adat yang dilanggar,” ucapnya.
Menurut Dolly, kisah-kisah dan kepercayaan lokal di atas menunjukkan bahwa harimau sumatra bukan sekadar satwa liar. Namun, sebagai simbol spiritual, leluhur, dan pelindung. Kearifan lokal tersebut dapat menjadi landasan kuat untuk memperkuat pendekatan konservasi berbasis budaya.
“Masa depan harimau sumatra tidak hanya bergantung pada penegakan hukum dan pengelolaan habitat. Namun, juga pada pemahaman dan penghargaan terhadap nilai-nilai lokal yang telah lama hidup berdampingan dengan harimau,” pungkas Dolly.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































