Jakarta (Greeners) – Indonesia mencatat produksi batu bara sebesar 836 juta ton (Mt) di tengah penurunan pendapatan dan peningkatan emisi metana yang mencapai 722 ribu ton (kt). Kenaikan produksi batu bara di situasi seperti ini dapat mengancam target iklim sekaligus menekan stabilitas ekonomi nasional.
Temuan tersebut tercantum dalam laporan Ember berjudul “Chasing Volume, Losing Value: The Cost of Coal Over Expansion in Indonesia.” Laporan itu menyoroti bahwa rekor produksi batu bara Indonesia yang baru justru menunjukkan tren ekspansi yang tidak berkelanjutan.
Meskipun produksi batu bara mencapai 836 juta ton pada 2024, kelebihan pasokan di pasar global terus menekan harga, mengurangi laba perusahaan, dan mengikis pendapatan negara. Pada saat yang sama, emisi metana dari kegiatan penambangan meningkat drastis, jauh melampaui perkiraan resmi pemerintah.
Ironisnya, di tengah meningkatnya produksi, permintaan batu bara justru menurun pada 2025. Produksi bahkan turun sekitar 33 juta ton pada paruh pertama tahun ini, seiring melemahnya pasar ekspor dan domestik.
Ekspor ke Tiongkok dan India, yang bersama-sama menyumbang sekitar 60% dari perdagangan batu bara Indonesia menurun. Hal itu seiring kedua negara meningkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan dan memperkuat pasokan batu bara domestik. Pergeseran ini dapat menyebabkan penurunan permintaan batu bara Indonesia, sekitar 10% pada 2025 dibandingkan tahun sebelumnya.
Laba Perusahaan Tertekan
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa laba perusahaan tertekan karena harga batu bara turun dan biaya produksi naik. Meskipun krisis energi tahun 2022 sempat mengangkat harga batu bara hingga di atas $400 per ton dan meningkatkan pendapatan negara, momentum ini telah memudar.
Pada tahun 2024, laba bersih perusahaan batu bara telah turun di bawah level tahun 2021. Ini menunjukkan penurunan sebesar 67% dibandingkan dengan puncaknya di tahun 2022. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari batu bara juga turun sebesar 18,6% pada tahun 2024. Sekalipun target pemerintah tercapai tahun ini, penerimaannya akan tetap di bawah tahun-tahun sebelumnya.
Wakil Kepala Unit Riset Transisi Energi Internasional, Wuppertal Institut mengungkapkan bahwa wilayah-wilayah penghasil batu bara di Indonesia perlu segera bersiap untuk menghadapi penurunan pendapatan dari sektor batu bara.
“Begitu anggaran publik berkurang, upaya untuk mendiversifikasi perekonomian daerah akan semakin sulit,” ujar Timon dalam keterangan tertulisnya, Kamis (6/11).
Dampak Signifikan Batu Bara
Sementara itu, dampak lingkungan dari ekspansi batu bara juga signifikan. Ember memperkirakan emisi metana tambang batu bara (CMM) pada tahun 2024 mencapai 722 kiloton (kt) metana. Jumlah tersebut lebih dari empat kali lipat angka resmi pemerintah. Penyebab perbedaan ini adalah penggunaan faktor emisi yang tidak tepat dan juga tidak memperhitungkan emisi dari tambang bawah tanah.
Masalah ini akan memburuk dengan cepat. Emisi CMM diproyeksikan melonjak 25% pada tahun 2030, bahkan dalam skenario penurunan produksi batu bara. Peningkatan emisi CMM akan didorong oleh ekspansi tambang bawah tanah yang besar di Kalimantan Selatan, yang diperkirakan mencapai produksi 20 juta ton per tahun.
Tambang tersebut dapat menyumbang 332 kt CH4 pada tahun 2030. Ini belum termasuk ancaman jangka panjang yang timbul akibat kebocoran Metana Tambang Terbengkalai (AMM) setelah penutupan tambang.
Laporan tersebut menyarankan perlunya perubahan mendasar, dari ekspansi ke pengelolaan. Pemerintah perlu mengendalikan produksi dengan menerapkan moratorium terhadap semua izin pertambangan batu bara baru. Selain itu, pemerintah juga perlu mengintegrasikan pembatasan produksi jangka panjang yang ketat ke dalam proses persetujuan rencana produksi tahunan (RKAB).
Analis Senior Iklim dan Energi Indonesia di Ember, Dody Setiawan mengatakan bahwa strategi pengelolaan batu bara yang berfokus pada transisi diperlukan. Hal itu untuk mengarahkan industri dan mendukung daerah penghasil batu bara dalam beradaptasi dengan lanskap energi yang terus berkembang.
“Untuk mengatasi krisis iklim, pemerintah harus mewajibkan pelaporan emisi di tingkat fasilitas bagi semua pemegang izin dan mengembangkan faktor emisi spesifik Indonesia untuk menggantikan metodologi yang sudah usang,” ujar Dody.
Ia menambahkan bahwa dokumen Nationally Determined Contribution Kedua (SNDC) Indonesia yang baru terbit mencakup komitmen untuk mitigasi metana tambang batu bara. Ini menjadi landasan kebijakan penting untuk implementasi ke depannya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia












































