Jakarta (Greeners) – Riset oleh TreeMap mengungkapkan sejak tahun 2001 hingga 2023, 721.000 hektare (ha) hutan di Indonesia telah ditebang untuk pertambangan. Luas hutan tersebut termasuk 150.000 hektare hutan primer.
Dalam mengungkap fakta ini, peneliti menggunakan citra satelit resolusi tinggi dari Sentinel-2 dan Planet/NICFI serta citra Landsat historis selama dua dekade.
Namun, deforestasi untuk pertambangan tersebut jauh lebih sedikit daripada deforestasi akibat perluasan perkebunan kelapa sawit dan pulp kayu. Kedua perkebunan itu masing-masing telah mengubah lahan seluas 3 juta hektare dan 1 juta hektare hutan primer.
Namun, data oleh TreeMap menunjukkan bahwa deforestasi yang terkait dengan pertambangan telah meningkat. Bahkan, hal itu terjadi di daerah-daerah yang sebelumnya tidak tersentuh di pulau-pulau terpencil di Indonesia timur.
Rata-rata, terjadi penebangan 6.500 hektare hutan primer setiap tahun. Puncak penebangan terlihat pada tahun 2013. Kemudian, peneliti melihat peningkatan penebangan hutan yang disebabkan oleh pertambangan menjelang tahun 2023. Pada tahun 2023, aktivitas pertambangan berkaitan dengan hilangnya 10.000 hektare hutan primer setiap tahunnya. Angka ini hampir tiga kali lipat dari kerugian pada awal milenium.
BACA JUGA: Telapak Jatim dan Ecoton Tolak Penebangan Hutan di Jombang
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik mengatakan bahwa laju deforestasi akibat pertambangan ini begitu tinggi. Salah satu penyebabnya adalah pemerintah masih mendorong ekonomi ekstraktif.
“Industri pertambangan sebenarnya lebih bahaya. Bahkan, di hutan lindung pun memungkinkan adanya aktivitas pertambangan,” kata Iqbal kepada Greeners melalui sambungan telepon, Rabu (10/7).
Iqbal menambahkan, apabila deforestasi ini terus berlanjut, Indonesia akan kehilangan biodiversitas hingga memperparah krisis iklim. Selain itu, bencana alam di wilayah penambangan juga dapat lebih parah daripada wilayah yang bukan area penambangan.
“Apabila pemerintah terus bertumpu pada ekonomi ekstraktif ini, Indonesia akan mengalami bencana alam atau hidrometeorologi yang lebih parah,” tambah Iqbal.
Pertambangan Batu Bara Paling Luas
Dengan menggunakan data konsesi yang diperoleh dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), peneliti mendapati bahwa pertambangan batu bara merupakan pertambangan dengan dampak pertambangan terbesar.
Berdasarkan luas wilayah (2001 hingga 2023), pertambangan batu bara meliputi sekitar 322.000. Kemudian, pertambangan emas seluas 149.000 hektare, timah seluas 87.000 hektare, dan pertambangan nikel seluas 56.000 hektare. Selanjutnya pertambangan bauksit 16.000 hektare dan bentuk pertambangan lainnya 91.000 hektare seperti pertambangan pasir dan batu (andesit).
Sejumlah pihak masih terus memanfaatkan sumber daya alam Indonesia yang melimpah untuk pertambangan. Upaya pemetaan komprehensif ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan praktik penambangan berkelanjutan. Hal itu penting semua pihak lakukan untuk melindungi warisan alam sekaligus mendukung pembangunan ekonomi.
Tunjukkan Lokasi Tambang Seluruh Nusantara
Peta yang diunggah pada laman nusantara-atlas.org tersebut telah memberikan penggambaran resolusi spasial 10 meter pertama, dari jejak lahan pertambangan Indonesia per Desember 2023, yang menunjukkan lokasi tambang di seluruh nusantara.
Peta ini telah menunjukkan total area hutan yang berubah menjadi infrastruktur pertambangan sejak tahun 2001 hingga Desember 2023. Dalam peta tersebut, terdapat lubang tambang dan tempat bahan baku.
Selain itu, peta juga telah menyoroti fasilitas pengolahan yang menunjukkan lokasi dan ukuran pabrik yang mengubah bahan baku menjadi produk olahan.
Dampak Buruk Pertambangan
Deforestasi yang terjadi pada hutan Indonesia bisa memicu berbagai dampak negatif. Apalagi, hutan tersebut dijadikan pertambangan yang berkontribusi terhadap peningkatan emisi karbon, mengganggu ekosistem, dan mengancam banyak spesies yang terancam punah. Pertambangan skala besar ini juga telah menggusur tempat tinggal masyarakat setempat.
BACA JUGA: Walhi Jabar: Hutan Gundul Sebabkan Longsor di Pengalengan
Contohnya Hongana Manyawa, salah satu suku pemburu-pengumpul nomaden terakhir di Indonesia. Suku tersebut terkena dampak perambahan operasi pertambangan ke tanah leluhur mereka di Pulau Halmahera di Indonesia Timur.
Di sisi lain, operasi penambangan juga telah mencemari sumber air penting bagi masyarakat setempat. Bahkan, mengganggu ekosistem perikanan yang berpengaruh terhadap mata pencaharian masyarajat. Contohnya, di Pulau Obi, penambangan nikel di Indonesia Timur telah mengubah perairan pesisir menjadi merah akibat adanya kontaminasi logam berat dalam kadar tinggi.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia