Hari Satwa Sedunia, Habitat Terancam Konflik Ruang Terus Terjadi

Reading time: 2 menit
Harimau memiliki daya jelajah tinggi. Jika habitatnya terganggu, konflik ruang akan terjadi. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Peringatan hari satwa sedunia setiap 4 Oktober menjadi momentum penting menjaga satwa di habitatnya. Selain habitat, perlu memastikan pakan dan keberlangsungan hidupnya di alam.

Manager Program Save The Indonesian Nature and Threatened Species (SINTAS) Alya Faryanti mengatakan, keberlangsungan hidup satwa liar pada umumnya bergantung pada pemenuhan kebutuhan hidup. Seperti misalnya satwa mangsa, air dan tempat bersembunyi.

Alya menyatakan, ruang habitat yang terdegradasi masih menjadi ancaman paling tinggi terhadap satwa.

“Tingginya laju konversi hutan menjadi fungsi lain seperti kebun, pemukiman, ladang dan lahan terbangun lainnya mendorong hal ini terjadi,” katanya kepada Greeners, di Jakarta, Selasa (4/10).

Akibatnya, pada di beberapa lokasi, misalnya seperti di Sumatra, konflik antara satwa liar dengan manusia tidak dapat terhindarkan. Misalnya, meski habitat telah beralih fungsi, kebutuhan harimau tidak berubah, harimau tetap akan mencari makan pada wilayah jelajahnya. Harimau jantan dewasa memiliki jelajah sekitar 50-250 km persegi.

“Ternak yang dilepas atau tidak dimasukan kandang akan menjadi sasaran yang mudah bagi harimau. Pada kasus di Bengkalis beberapa waktu lalu, terdapat jerat rusa yang dipasang warga. Keberadaan rusa yang terjerat ini lah yang menarik harimau untuk mendekat,” paparnya.

Satwa Butuh Daya Jelajah Tinggi

Harimau dapat hidup di beberapa tipe penutupan lahan, termasuk di hutan primer maupun sekunder. Harimau membutuhkan habitat berupa hutan yang utuh atau saling berdekatan dan terdapat keberadaan mangsa yang cukup.

Luas jelajah harimau bergantung pada keberadaan satwa mangsanya. Jika keberadaan mangsa semakin jarang, maka harimau cenderung memiliki area jelajah yang lebih luas untuk mencari mangsanya.

Contohnya, pada area berbukit di TN Gunung Leuser, studi menunjukan home range harimau lebih luas (250 km2) dibandingkan di TN Way Kambas (sekitar 50-100 km2). Tingginya deforestasi di Sumatra telah menyebabkan fragmentasi habitat.

Hutan tidak utuh lagi karena deforestasi atau terpotong menjadi beberapa bagian karena adanya pemukiman jalan maupun lahan pertanian menjadi faktor penyebab. Daerah-daerah non hutan dapat harimau lalui untuk melintas, daerah inilah yang kemudian menjadi rawan konflik.

Populasi gajah semakin menurun. Tekanan terhadap habitatnya mengancam kepunahan satwa ini di alam. Foto: Shutterstock

Deforestasi Terus Menurun

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan, Indonesia berhasil menurunkan angka deforestasi pada tahun 2019-2020 seluas 115.459 hektare (ha). Sebelumnya, tahun 2018-2019, Indonesia berhasil menurunkan sebesar 462.460 ha.

Sementara, luas kebakaran hutan dan lahan pada 2020 mencapai 296.000 ha juga menyebabkan deforestasi 1.100 ha. Adapun angka reforestasi pada 2019-2020 sekitar 3.600 ha dan tahun 2018-2019 sebesar 3.000 ha.

Selain ancaman ruang habitat yang terdegradasi, ancaman lain yakni populasi pakan yang menurun dan sumber air kering atau tercemar.

Alya menambahkan, untuk mempertahankan fungsi habitat hutan ini maka perlu kolaborasi berbagai pihak. “Menjaga hutan bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan mitranya, tapi masyarakat umum. Para pengelola lahan dan para pihak lain yang berkepentingan juga perlu duduk bersama memulihkan fungsi hutan,” ungkapnya.

Tak hanya itu, semua elemen masyarakat juga harus melestarikan alam dengan memulainya dari tindakan kecil. Misalnya, lebih bijak dalam menggunakan sumber daya di kehidupan sehari-hari. “Alam yang lestari adalah warisan termahal untuk generasi mendatang,” imbuhnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top