Teks Chair Perjanjian Global Plastik Gagal Melindungi Planet dari Polusi Plastik

Reading time: 2 menit
AZWI mengecam keras teks terbaru Perjanjian Global Plastik. Foto: AZWI
AZWI mengecam keras teks terbaru Perjanjian Global Plastik. Foto: AZWI

Jakarta (Greeners) – Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengecam keras teks baru yang dirilis oleh Chair Intergovernmental Negotiating Committee (INC), untuk Perjanjian Global Plastik pada 13 Agustus 2025. Dokumen ini merupakan kemunduran besar. Bahkan, telah mengkhianati tiga tahun proses negosiasi yang menunjukkan dukungan luas terhadap perjanjian ambisius yang mengatur seluruh siklus hidup plastik, termasuk pembatasan produksi.

Alih-alih menjadi jalan tengah yang mengakomodasi tuntutan berbagai blok yang bertentangan, AZWI menilai teks ini justru mencerminkan kepentingan negara-negara penghasil plastik yang seringkali merundung delegasi negara berkembang dalam proses negosiasi.

Kelemahan dalam teks tersebut di antaranya tidak ada kewajiban global yang mengikat untuk pengurangan produksi plastik atau penghapusan bahan kimia berbahaya, meski 140 negara telah menyerukan larangan dan phase-out. 

Dalam teks juga tidak ada sama sekali tentang keharusan penghapusan plastic chemicals. Kemudian, tidak ada kewajiban mendesain produk plastik yaang aman, serta tidak ada mekanisme voting yang efektif di COP untuk memutuskan isu substansi.

Senior Advisor Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati mengungkapkan bahwa delegasi harus menolak teks ini sebagai dasar negosiasi. Menurutnya, teks terbaru tidak ada ambisi yang tinggi yang dapat dinegosiasikan. Bahkan, meremehkan masukan-masukan delegasi dari lebih 170 negara.

“Masalah utama yang harus masuk ke dalam pasal perjanjian adalah pembatasan dan pengurangan produksi plastik, serta bahan-bahan kimia berbahaya untuk membuat plastik dan dampaknya sudah tak terpulihkan,” kata Yuyun dalam keterangan tertulisnya.

Perjanjian Global Plastik Gagal Melindungi Kesehatan

AZWI menilai chair text terbaru ini pada dasarnya adalah “waste managamenet treaty” bukan “plastic treaty” di semua siklus hidup plastik, seperti yang dimandatkan Resolusi UNEA 5/14. Text terbaru ini juga tidak menunjukkan komitmen pemimpin global untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari pencemaran plastik. Padahal, para peneliti dan scientists sudah menyajikan bukti-bukti betapa parahnya pencemaran plastik saat ini.

Deputi Direktur Dietplastik Indonesia, Rahyang Nusantara juga memiliki pandangan yang sama. Ia menilai bahwa chair’s text ini sangat lemah dalam mengatur solusi pencegahan polusi plastik di hulu, khususnya sistem guna ulang.

“Tidak ada target global reuse atau refill, tidak ada pasal yang mewajibkan transisi sistemik, dan tidak ada pengurangan produksi plastik. Bahkan, ketentuan terkait bahan kimia berbahaya dan kesehatan publik dihapus, padahal ini krusial untuk keamanan sistem reuse,” ujar Rahyang.

Di sisi lain, Indonesia sebenarnya telah memiliki berbagai inisiatif reuse atau refill yang berjalan di sejumlah kota. Ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk memimpin agar reuse jadi salah satu pilar utama dalam perjanjian global ini.

AZWI menekankan bhwa perjanjian global yang tidak memotong produksi plastik sama saja dengan business as usual atau status quo. Negara-negara yang saat ini sedang bernegosiasi di Jenewa harus menolak teks lemah ini. Mereka harus menepati janji ambisi mereka, dan berpihak pada rakyat, bukan pada pelobi industri yang berkeliaran di ruang perundingan.

Co Coordinator AZWI, Nindhita Proboretno juga menegaskan bahwa chair text ini gagal melindungi planet dari pencemaran plastik. Teks ini justru sebagai kemenangan bagi industri dan negara-negara penghasil minyak. Posisi Indonesia yang menolak pembatasan produksi plastik dan memiliki kepentingan industri justru memperkuat teks lemah ini.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top