Presiden Jokowi Ungkap Mitigasi Perubahan Iklim Indonesia di COP-26

Reading time: 4 menit
Presiden Jokowi menyampaikan langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim Indonesia di COP-26 Glasgow. Foto: Sekretariat Presiden

Jakarta (Greeners) – Presiden Joko Widodo menyampaikan sejumlah langkah aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim Indonesia di COP-26 Glasgow, Skotlandia. Perubahan iklim adalah ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global. Solidaritas, kemitraan, kerja sama, kolaborasi global merupakan kunci.

Presiden pun menyebut pendanaan iklim dengan mitra negara maju merupakan game changer dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang. 

Pidato ini ia sampaikan dalam World Leaders Summit di KTT Perubahan Iklim (COP-26) Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11) malam. 

“Penyediaan pendanaan iklim dengan mitra negara maju merupakan kunci dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang,” katanya.

Dengan bantuan internasional, baik dana atau transfer teknologi membuat negara-negara berkembang bergerak lebih cepat bagi net zero emission dunia.

Dalam kesempatan itu, Jokowi pun menyampaikan sejumlah langkah dan kontribusi Indonesia dalam penanganan perubahan iklim.

“Dengan potensi alam yang begitu besar, Indonesia terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim,” ucapnya.

Upaya yang Indonesia lakukan itu yakni, ndonesia berhasil menurunkan laju deforestasi secara signifikan, hingga ke angka terendah dalam 20 tahun terakhir. Angka kebakaran hutan juga terus turun sebanyak 82% pada tahun 2020. Aksi rehabilitasi hutan mangrove seluas 600.000 hektare sampai 2024, angka ini termasuk terluas di dunia. Selain itu Indonesia juga telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara tahun 2010-2019.

“Sektor yang semula menyumbang 60% emisi, Indonesia akan mencapai carbon net zink, selambatnya pada tahun 2030,” ungkapnya.

Jokowi melanjutkan, tindakan mitigasi perubahan iklim juga Indonesia terapkan pada sektor energi. Beberapa hal itu antara lain pengembangan ekosistem mobil listrik, pembangunan pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara. Lalu pemanfaatan energi terbarukan termasuk biofuel, pembangunan berbasis clean energy, serta pembangunan kawasan industri hijau terbesar dunia di Kalimantan Utara.

Dengan berbagai terobosan dan aksi ini, Jokowi menegaskan hal tersebut belumlah cukup. Menurutnya, perlu penciptaan ekosistem ekonomi karbon yang transparan, berintegritas, inklusif dan adil.

Perubahan Iklim Ancam Kepunahan Satwa

Sementara itu di kesempatan berbeda, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong menyebut, COP-26 waktu yang tepat untuk menempatkan konservasi satwa liar, transisi energi dan konservasi hutan pada pijakan yang sama.

Daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyebutkan 839 flora dan 1.194 fauna Indonesia berada pada ambang kepunahan. Data ini sangat mengkhawatirkan, mengingat selain perburuan liar, perubahan iklim juga turut mengancam populasi satwa liar di Indonesia.

Saat ini dunia gencar mencari jalan keluar atau mendorong gerakan pencegahan perubahan iklim. Namun, diskusi perubahan iklim global sebagian besar berpusat pada transisi energi dan konservasi hutan saja. Hingga saat ini topik konservasi satwa kurang menonjol, meskipun peranannya sangat penting dalam memelihara keseimbangan ekologi.

Selain umat manusia, perubahan iklim juga mengancam satwa liar. Manusia dan satwa liar memiliki tantangan yang sama untuk bertahan hidup dalam menghadapi krisis iklim.

Berada pada lokasi yang strategis, yaitu daerah tropis, Indonesia memiliki salah satu keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Oleh karena itu, Indonesia memiliki peran penting dalam konservasi satwa liar. Tetapi, sama dengan perubahan iklim, melindungi keragaman satwa bukanlah masalah yang dapat diselesaikan oleh satu negara. Melainkan butuh perhatian dan kebijakan seluruh dunia.

“Kita perlu mendorong konservasi satwa liar untuk berada pada posisi yang sama dengan transisi energi dan konservasi hutan dalam diskusi perubahan iklim global. Kami percaya bahwa konservasi margasatwa harus mendapatkan minat yang lebih besar dalam diskusi tersebut,” jelas Alue, pada webinar The Urgency of Wildlife Conservation  in the Global Climate Change Discussion, dari Glasgow, Senin (1/11).

Selain manusia, perubahan iklim juga mengancam satwa lainnya di alam. Foto: Shutterstock

Prediksi 30 Spesies Primata akan Punah

Sejalan dengan hal tersebut, Indikator Politik Indonesia melakukan survei pada lebih dari 1.000 generasi millenial dan generasi Z tahun 2021. Hasilnya, tingkat pengetahuan dan kekhawatiran generasi muda terhadap konservasi satwa liar masih rendah.

Sebanyak 19% responden menganggap isu hilangnya keanekaragaman hayati penting. Selain itu, hanya terdapat 1% responden yang mengkhawatirkan masalah hilangnya keanekaragaman hayati akibat krisis iklim di masa depan.

Publik perlu tahu, satwa sangat merasakan dampak perubahan iklim, karena kehidupannya sangat bergantung pada alam. Beberapa dampak yang sangat berpengaruh pada satwa antara lain hilangnya habitat, ketiadaan sumber makanan, gangguan fisiologis dan ketidakmampuan beradaptasi.

Pada saat ini, tercatat Indonesia memiliki satwa liar sebanyak 126.824 spesies terestrial dan 6.869 spesies laut, dengan total 133.693 spesies. Apabila tidak ada aksi mitigasi atau perhatian lebih serius, hal tersebut akan berdampak pada menurunnya jumlah spesies hingga kepunahan suatu spesies.

Regional Vice-Chair for South and East Asia, SSC IUCN, Mirza Kusrini juga memprediksi hal tersebut. Berdasarkan penelitian yang mereka lakukan, menunjukkan bahwa 30 spesies primata di indonesia kemungkinan akan punah pada tahun 2050.

“Kita harus mengurangi dampak perubahan iklim dan menghentikan pemanasan global, jika tidak kita tidak hanya akan kehilangan kehidupan kita tetapi juga spesies kita,” tutur Mirza.

Konservasi Margasatwa Tanggung Jawab Manusia

Selain tindakan pencegahan perubahan iklim, pelestarian satwa juga dapat kita lakukan dengan cara in situ dan ex situ. Konservasi in situ merupakan usaha pelestarian dan perlindungan spesies tanaman dan hewan yang akan terancam kepunahan pada habitat aslinya. Penerapannya di Taman Nasional, Suaka Marga Satwa atau Cagar Alam.

Sedangkan ex situ merupakan usaha pelestarian alam di luar habitatnya, yakni mengambil dari habitat yang tidak aman dengan menempatkannya ke tempat perlindungan manusia. Bentuknya seperti di kebun binatang, kebun raya atau Taman Safari.

Satwa liar memiliki peran vital dalam mempertahankan keberlanjutan planet bumi. Salah satunya peran melindungi siklus ekologi bumi. 

“Kami bertanggung jawab atas hal itu. Kita dipercayakan untuk menjaga, belajar dan bersinergi dengan bumi dengan bijaksana. Tidak ada planet B, hanya ada satu bumi, di mana kita hidup, yang kita harus peduli,” tegas Alue.

Penulis : Zahra Shafira

Top