Jakarta (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai, penertiban kawasan hutan (PKH) oleh satuan tugas (Satgas) berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025, justru memperburuk kondisi di lapangan. Walhi mencatat, banyak penyegelan dan pengambilalihan lahan terjadi di wilayah milik masyarakat yang selama ini menjadi korban konflik tenurial.
Dari temuan Walhi di 10 provinsi, seluruh proses penertiban kawasan hutan ini justru menimbulkan konflik baru. Bahkan, tidak menjawab pemulihan ekologi dan pemulihan hak rakyat sebagai substansi utama.
Di Kalimantan Tengah, misalnya, setidaknya terdapat sebanyak 127 perusahaan sawit dengan luasan kurang lebih total 849.988 hektare yang terdaftar dalam SK Menhut No. 36 Tahun 2025, yang akan Satgas PKH terbitkan. Berdasarkan pemantauan Walhi Kalimantan Tengah, sudah ada plangisasi (pemasangan plang) sebanyak 16 perusahaan di Kabupaten Kotawaringin Timur dan Seruyan.
Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah, Bayu Herinata menyatakan bahwa penertiban kawasan hutan di Kalimantan Tengah justru mempertegas bentuk baru kejahatan struktural oleh negara.
“Di sejumlah wilayah seperti Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Timur, plangisasi oleh satgas tidak jelas. Lokasi dan luasan lahannya berbeda dengan SK Menhut No.36 tahun 2025. Penyegelan juga tidak menghentikan aktivitas perusahaan di lokasi,” ujar Bayu dalam konferensi pers.
Selain itu, Walhi Kalimantan Tengah juga menemukan bahwa lahan-lahan masyarakat adat dan petani sawit kecil, yang telah lama berkonflik dengan perusahaan sawit justru ikut satgas segel. Padahal, lanjutnya, masyarakat adalah korban dari ekspansi ilegal perusahaan.
“Ini bukan penertiban, tapi pemutihan korporasi dan legalisasi kejahatan lingkungan oleh negara. Seharusnya negara hadir menyelesaikan konflik dan memulihkan lingkungan, bukan menjadi aktor utama pelanggar hukum dan perusakan lingkungan,” tambahnya.
Segel Empat Perusahaan
Sementara itu, di Kalimantan Barat juga telah terjadi penertiban yang serupa. Dari hasil pengumpulan data dan informasi serta pemberitaan beberapa media, Walhi Kalimantan Barat menemukan saat ini satgas PKH sudah menertibkan dan menyegel empat perusahaan.
Perusahaan tersebut antara lain PT Rezeki Kencana di Kabupaten Kubu Raya dengan luas 1.672,83 hektare dan PT Riau Agrotama Plantation di Kapuas Hulu seluas 1.909,23 hektare. Selain itu, penyeglan juga terjadi di PT Satria Multi Sukses di Kabupaten Landak, dengan luas 1.371,73 hektare.
Kepala Divisi Kajian dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat, Indra Syahnanda, mengatakan bahwa pada 3 Maret 2025 masyarakat sempat melakukan aksi. Mereka menuntut PT SMS mengembalikan hutan lindung seluas 238,51 hektare yang diduga masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) PT SMS.
Tak lama kemudian, satgas PKH menyegel PT SMS pada tanggal 17 Maret 2025. Namun, sampai saat ini belum ada informasi lebih lanjut mengenai tuntutan masyarakat terkait pengembalian hutan lindung yang menjadi wilayah kelola masyarakat.
Perusahaan lainnya yaitu PT Duta Palma yang berada di dua kabupaten Bengkayang dan Sambas, dengan luas lahan sawit 137.626,01 hektare. Perusahaan ini kemudian satgas PKH segel, lalu mereka berikan kepada PT Agrinas Nusantara. Tetapi, pengambil alih PT Duta Palma tidak menyelesaikan konflik yang sebelumnya terjadi terhadap buruh yang terdampak PHK.
Penertiban Kawasan Hutan di Sumbar
Di Sumatra Barat, Walhi juga mencatat bahwa sekitar 105 ribu hektare lahan telah terpasang segel oleh Satgas PKH. Namun hingga kini, belum jelas untuk siapa sesungguhnya proses penertiban ini.
Menurut Direktur Eksekutif Walhi Sumatra Barat, Wengky Purwanto, tipologi sawit dalam kawasan hutan sangat beragam. Misalnya, di Kabupaten Agam PT AMP, perusahaan yang terhubung dengan Wilmar Grup ada sekitar 1.500 hektare lahan yang tersegel.
“Namun, apabila melihat sejarah asal-usul lahan, wilayah tersebut awalnya merupakan tanah ulayat milik masyarakat adat yang hasil kesepakatannya untuk dibangun kebun plasma. Namun, hingga kini tidak pernah diberikan kepada masyarakat,” kata Wengky.
Satgas PKH semestinya menertibkan 1.500 hektare lahan yang PT AMP kelola, lalu mengembalikan wilayah itu kepada pemilik hak ulayat dan memulihkan fungsi wilayah tersebut seperti semula. Menurut Wengky, tipologi penguasaan hutan ini begitu kompleks dan tidak mampu dijawab dengan Perpres No. 5 Tahun 2025. Dengan demikian, saat ini dibutuhkan UU Kehutanan yang baru.
Konflik Belum Tuntas
Permasalahan penertiban kawasan hutan juga terjadi di Provinsi Jambi. Manajer Advokasi Kajian Kampanye dan Organisasi Rakyat, Walhi Jambi Ginda Harahap mengatakan bahwa PT Agrinas melakukan penyegelan di wilayah tanaman industri.
Objek yang satgas segel berada di area yang masih dalam proses resolusi konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan. Ginda menilai penyegelan ini tebang pilih. Sebab, wilayah yang tersegel justru merupakan kawasan yang selama ini telah diproteksi dan sedang dalam tahap penyelesaian konflik.
Tercatat saat ini ada 280 hektare lahan telah satgas segel. Padahal, lanjut Ginda, telah ada surat resmi dari PT Agrinas, dan masyarakat sedang menjalani proses sosialisasi terkait kerja sama dengan perusahaan tersebut.
PT Agrinas menawarkan skema bagi hasil dengan proporsi 40% untuk masyarakat dan 60% untuk perusahaan. Namun, seluruh proses pekerjaan ditanggungkan kepada masyarakat, tanpa pembagian tanggung jawab yang adil.
Menurut Ginda, satgas PKH gagal menempatkan diri sebagai alat korektif yang berpihak kepada rakyat. Ia menegaskan perlu upaya koreksi, dimulai dari pengakuan terhadap masyarakat sebagai pemilik sah kawasan, yang telah mereka kelola secara arif selama puluhan, bahkan ratusan tahun.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































