Produsen Lepas Tangan Soal Limbah Gawai Elektronik

Reading time: 3 menit
Produsen Lepas Tangan Soal Limbah Gawai Elektronik
Rafa Jafar, praktisi limbah elektronik, menilai produsen masih lepas tangan soal limbah gawai elektronik. Foto: Shutterstock.

Jakarta (Greeners) – Perkembangan teknologi tidak bisa terbendung. Produsen pun terus menawarkan produk mutakhir untuk merayu konsumen agar konsisten membeli gawai. Tidak hanya itu, produsen kini membanderol beragam gawai dengan harga yang semakin terjangkau. Sayangnya, produsen belum mengurusi gawai bekas masyarakat. Limbah elektronik pun menumpuk. Demikian keluh pendiri komunitas E-Waste RJ, Rafa Jafar. Tidak hanya memurahkan harga gawai, Rafa berargumen produsen sengaja membuat produk mereka ringkih agar konsumen selalu membeli produk baru.

“Iklan dan lain-lain membuat kita sering menggunakannya (barang elektronik). Sehingga (ketika rusak) kita ingin lebih cepat membeli baru,” ujarnya dalam webinar rangkaian Climate Diplomacy Week 2020 bertema Masa Depan Alam Untuk Ketahanan Ekonomi Indonesia, Senin (2/11/2020).

Indonesia Tertinggal dalam Pengelolaan Limbah Elektronik

Bukan hanya gawai pintar berbentuk kecil, limbah elektronik juga melingkupi peralatan rumah tangga lainnya, tambah Rafa. Dari 53,6 juta metrik ton volume limbah elektronik global dalam satu tahun, hanya 17,4 persen yang dikelola secara tepat. Tidak heran bila jumlah tersebut berasal dari negara-negara besar yang memiliki teknologi mumpuni dalam mengelola sampah elektronik. Sementara Tanah Air masih jauh tertinggal.

Menurut pantauan Rafa, volume limbah elektronik Tanah Air terus meningkat dari tahun ke tahun. Hanya saja, di saat negara lain sudah merintis program daur ulang limbah elektronik, Indonesia masih kesulitan. Pemerintah dan produsen, lanjut Rafa, belum menyediakan wadah untuk mendaur ulang limbah elektronik dengan baik.

“Sebuah masalah yang lebih parah yaitu belum banyak entitas yang berjalan di sampah elektronik atau bidang perbaikan,” imbuhnya.

Rafa juga mengingatkan pentingnya mengimbau masyarakat untuk mengetahui langkah pengelolaan limbah elektronik yang benar. Saat ini, masyarakat cenderung menyatukan sampah elektronik dengan sampah lain. Jika dibiarkan terus menerus lingkungan dan kesehatan masyarakat bisa terancam oleh limbah elektronik. Racun dari E-Waste, lanjut dia, sifatnya bisa menimbulkan banyak penyakit mulai dari iritasi bahkan kanker.

“Kita menggunan produk elektronik tanpa memperhatikan sampahnya. Masyarakat perlu lebih bijak dalam membeli barang elektronik yang dibutuhkan,” jelasnya.

Mencoba menjawab kondisi tersebut, dirinya beserta anggota komunitas E-Waste JR mencoba menjembatani proses pengelolaan sampah elektronik. Tujuan akhir dari komunitasnya yakni menciptakan gaya hidup berkelanjutan dengan mengubah pola pikir dari semua pihak dalam menangani E-Waste. Sampai saat ini pihaknya telah menyediakan 17 titik tempat pembuangan sampah elektronik di 9 kota. Jumlah sampah yang mereka kelola mencapai 2.735 Kilogram.

“Reycle jadi penting dan untuk informasi drop zone bisa hubungi kami. Kami menjembatani penurunan sampah elektronik,” pungkasnya.

Baca juga: Tiga Cagar Biosfer Baru, Kans Masyarakat Bentengi Alam

KLHK Tekankan Kewajiban Produsen Terhadap E-Waste

Dihubungi terpisah, Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Novrizal Taher, menjelaskan sampah elektronik dibagi menjadi dua jenis yaitu limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dan sampah spesifik. Limbah B3, lanjut dia, merupakan sampah yang bersumber dari industri atau lembaga berbadan hukum. Sedangkan E-Waste yang masuk kategori sampah spesifik merupakan sampah yang berasal dari rumah tangga. Sampah dari rumah tangga ini diatur oleh Peraturan Pemerintah no. 27 tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik.

Novrizal menyebut dalam pengelolaan limbah B3, industri merupakan salah satu pihak yang bertanggung jawab. Menurutnya, industri wajib menyiapkan take back atau proses pemungutan sampah dengan jenis B3. Dia mendorong industri juga bekerja sama dengan komunitas yang bergerak di bidang pengelolaan sampah seperti E-Waste RJ untuk limbah B3 dari E-Waste.

“Tetap yang betanggung jawab produsennya. Produsen bertanggung jawab terhadap e-waste dengan pendekatan extended producer responsibility. Jadi mereka punya tanggung jawab untuk take back dari produksi dia yang jadi E-Waste,” katanya kepada Greeners, Jumat (6/11/2020).

Novrizal menambahkan, pihak lain yang bertanggung jawab untuk limbah B3 adalah pemerintah daerah dan pemilik kawasan. Khusus untuk pemerintah daerah, menurutnya sudah ada inisiatif dari beberapa Pemda dengan menyiapkan drop box E-Waste. Meski begitu, pihaknya tetap berupaya untuk melakukan sosialisasi dan edukasi terkait pengelolaan sampah termasuk E-Waste.

“Kita masih dalam proses sosialisasi. Banyak pemda sudah melakukan. Memberikan dukungan kepada Pemda untuk drop box,” ucapnya.

Penulis: Muhammad Ma’rup

Editor: Ixora Devi

Top