Jakarta (Greeners) – Ratusan warga Pulau Pari bersama aktivis dari berbagai lembaga swadaya masyarakat mendatangi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Mereka mendesak pemerintah mencabut izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). Menurut mereka, izin tersebut memperparah kerusakan ekosistem Pulau Pari di tengah krisis iklim yang kian mengancam.
Warga hadir membawa replika kapal “Thousand Sunny” yang terinspirasi dari animasi populer “One Piece”. Mereka juga membentangkan spanduk besar bertuliskan “Lindungi Pulau Kecil, Selamatkan Pulau Pari” di depan gedung KKP.
BACA JUGA: KIARA: Reklamasi Ancol Bukan untuk Mencegah Banjir
Pulau Pari, salah satu “surga” kecil yang jadi destinasi wisata paling populer di Kepulauan Seribu, kini terancam hilang akibat kombinasi krisis iklim dan proyek reklamasi oleh perusahaan swasta. Pemberian izin yang serampangan dari KKP membuat Pulau Pari dan warganya menanggung beban berlipat yang mengancam eksistensi pulau ini.
Berdasarkan temuan Greenpeace Indonesia, aktivitas reklamasi di sekitar Pulau Pari telah menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir. Ini termasuk rusaknya ekosistem lamun, jumlah mangrove yang berkurang, abrasi, kerusakan terumbu karang, dan meningkatnya risiko banjir rob.
Dampak sosial-ekonomi pun langsung warga rasakan. Pendapatan dari sektor perikanan dan kelautan juga menurun tajam. Bahkan, akses ke laut semakin terbatas, dan rasa aman terhadap lingkungan hidup terganggu.
Juru Kampanye Keadilan Iklim Greenpeace Indonesia, Jeanny Sirait mengatakan bahwa izin PKKPRL yang KKP keluarkan di wilayah Pulau Pari, jelas bertentangan dengan semangat perlindungan pesisir dan pulau kecil.
“Negara seharusnya berpihak pada warga, bukan pada proyek-proyek yang mengancam keberlanjutan lingkungan dan ruang penghidupan masyarakat,” ujar Jeanny dalam keterangan tertulisnya, Rabu (8/10).
Perubahan Signifikan Pulau Pari
Pulau Pari yang bisa ditempuh dua jam dari Jakarta selama ini terkenal sebagai primadona destinasi wisata bahari di Kepulauan Seribu. Pantai berpasir putih jadi magnet bagi wisatawan. Sementara itu, mangrove yang subur serta padang lamun jadi habitat penting berbagai jenis ikan dan biota laut.
Kekayaan dan keindahan alam ini yang menjadikan sebagian besar warga Pulau Pari menggantungkan hidupnya dari sektor pariwisata dan perikanan. Hal inilah yang mendorong mereka untuk terus menjaga dan mengelola kelestarian alam Pulau Pari secara swadaya.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, warga menyaksikan perubahan signifikan. Mulai dari abrasi pantai meningkat, luasan padang lamun menurun drastis, air laut naik ke permukiman, hingga hasil tangkapan ikan berkurang.
BACA JUGA: Petaka di Laut Takalar
Ancaman ini semakin buruk akibat proyek reklamasi oleh korporasi swasta yang justru KKP fasilitasi lewat penerbitan izin PKKPRL. Izin ini membuka jalan bagi korporasi untuk melakukan ekspansi proyek-proyek yang berpotensi merusak keseimbangan ekosistem pulau kecil.
“Dulu laut kami bersih dan ikan mudah kami tangkap. Sekarang, pantai mulai terkikis, rumput laut mati, dan laut semakin dalam. Persoalan krisis iklim dan pembangunan proyek reklamasi ini kami rasakan betul dampaknya,” ujar salah seorang warga Pulau Pari dan Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FP3), Mustaghfirin.
Upaya Pemerintah Minim
Di sisi lain, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta yang telah mendampingi advokasi warga Pulau Pari selama satu dekade menyoroti minimnya upaya pemerintah dalam mengatasi upaya privatisasi pulau.
“Pemerintah terlihat belum banyak berupaya untuk membela hak masyarakat. Tanpa ada upaya dari pemerintah untuk membatasi pihak swasta, upaya penyelamatan Pulau Pari akan sia-sia,” ujar Juru Kampanye Walhi Jakarta Muhammad, Aminullah.
Tim Advokasi Pulau Pari dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Abdul Rohim Marbun, menambahkan, aksi warga di depan kantor KKP merupakan manifestasi dari puncak kekecewaan warga terhadap pemerintah.
“Aksi warga Pulau Pari merupakan eskalasi dari kemarahan warga terhadap Menteri KKP yang tidak menjalankan kewajiban pemerintah untuk menjaga lingkungan dan ruang hidup warga,” kata Rohim.
Ada pun aksi oleh Koalisi FP3 bertujuan untuk menyerukan keadilan ekologis dan sosial bagi warga pulau kecil. Mereka juga ingin menegaskan bahwa pembangunan yang mengabaikan keberlanjutan dan keselamatan masyarakat pesisir adalah bentuk ketidakadilan iklim.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































