Petaka di Laut Takalar

Reading time: 3 menit
Reklamasi Pantai
Reklamasi Pantai di Takalar, Sulawesi Selatan. Foto: Youtube Walhi Sulawesi Selatan

Judul: Disaster in Takalar Sea

Durasi: 18 menit 49 detik

Genre: Dokumenter

Sumber: Kanal Youtube WALHI Sulawesi Selatan

Film dokumenter Disaster in Takalar Sea memperlihatkan realita yang dialami oleh nelayan Galesong, Sulawesi Selatan, akibat penambangan pasir pantai untuk proyek reklamasi. Masyarakat sekitar terus mengalami dampak lingkungan yang mengancam kehidupan dan permukiman mereka.

Saat ini nelayan Galesong harus mencari ikan hingga ke area 8 sampai 10 mil ke arah barat daya. Penambangan pasir membuat area 4 mil tempat biasa mereka bekerja tak lagi terdapat ikan. Tambang pasir ini menyebabkan air keruh hingga hilangnya plankton di dasar laut sampai ke area 8 mil.

Penambangan pasir yang merusak ekosistem laut memicu keresahan nelayan karena hasil tangkapan terus menurun sejak satu tahun terakhir. Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Muhammad Al Amin mengatakan bahwa hasil riset di Kecamatan Galesong Raya selama enam bulan menemukan terdapat 6.474 nelayan tradisional yang merasakan dampak akibat tambang pasir laut.

Dampak yang dirasakan oleh para nelayan adalah pendapatan mereka yang menurun drastis. Sebanyak 80 persen risiko lingkungan yang paling parah adalah abrasi dan kerusakan lingkungan. Pengikisan pantai itu terjadi di sepanjang pesisir laut Takalar yang sudah merusak rumah warga, melenyapkan daratan, dan mengancam kehidupan warga. Selain itu, abrasi juga menggerus situs makam peninggalan warga Desa Sampulungan. Sebanyak enam desa mengalami pergeseran bibir pantai hingga 20 meter jauhnya. Di sebelah barat yang dulu tidak terdampak kini menjadi abrasi dan sudah tidak bisa mencari ebi.

Ombak yang dulunya berada di 10 meter keluar bibir pantai juga sekarang telah mencapai permukiman dan merusak rumah warga. Hal ini dilihat sebagai fenomena bahwa bisnis ekstraktif di sektor kelautan atau proyek tambang pasir merupakan bisnis yang tidak ramah lingkungan. Sejak adanya penambangan pasir ini perubahan lingkungan terus terjadi.

Masyarakat kemudian berinisiatif untuk membangun semacam talut penahan ombak untuk mengantisipasi saat musim barat datang yang memberikan efek tidak terkendali. Ketinggian ombak memecah sekitar 15 sampai 25 meter keluar, tetapi setelah pembangunan ini ombak berada di pinggir pantai yang efeknya langsung ke bangunan.

Reklamasi Pantai

Sejumlah kapal bersandar di pesisir pantai di Takalar, Sulawesi Selatan. Foto: Youtube Walhi Sulawesi Selatan

Saat ini lahan pekarangan warga dijadikan sebagai tempat sandar perahu untuk menghindari seretan ombak. Namun, ketika musim barat datang tidak ada lagi tempat nelayan memarkir perahunya. Saat cuaca teduh, tempat parkir perahu sudah bersentuhan dengan tanah yang sebelumnya masih berada di daratan pasir.

Pada dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), semestinya penambangan pasir laut berada di area 4 mil. Namun yang terjadi adalah penambangan berada di area 2 mil di daerah yang dekat dengan permukiman nelayan.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan, Andi Hasbi mengatakan bahwa yang digali hanya setengah meter. Sedangkan ikan yang berada di area tersebut, kata dia, adalah ikan lewat bukan yang berkembang biak. Menurutnya dari hasil survei diketahui hampir tidak ada karang di sana dan sebelum terdapat penambangan beberapa rumah sudah tergerus abrasi. Ia juga mengatakan kalau di Sulawesi Selatan membutuhkan penimbunan laut untuk Center Point of Indonesia (CPI) dan Makassar New Port yang merupakan bagian dari program tol laut Presiden Joko Widodo.

Namun, pernyataan tersebut disanggah oleh Bupati Takalar, Syamsuri Kitta. Ia mengatakan dahulu nelayan melaut dalam jarak yang dekat bahkan tidak jauh sampai 10 mil. Hal itu, kata dia, menandakan bahwa di lokasi terdapat ikan dan habitatnya pun bagus.

Proyek reklamasi tersebut dirancang pada 2009-2010. Pada 2015 Mega Proyek Reklamasi (CPI) dikerjakan oleh PT Baskalis (perusahaan asal Belanda). Kurang lebih 20 juta meter kubik pasir dibutuhkan untuk menambah daratan seluas 151 hektare. Dari total 50 hektare area reklamasi, di antaranya menjadi milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Sedangkan 101 hektare lainnya dimiliki pengembang grup Ciputra.

Menurut Undang-Undang Nomoro 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dijelaskan bahwa untuk mengelola pasir dan pulau kecil harus terdapat peraturan daerah mengenai rencana zonasi pesisir. Namun, sejak pembangunan ini ada, rencana zonasi pesisir di Provinsi Sulawesi Selatan disebut belum diterbitkan. Pengembang pun dinilai tidak menaati aturan area tambang yang harusnya berada di area 4 mil, tetapi dilakukan di area 2 mil.

Penulis: Mega Anisa

Top