Konferensi EBTKE ke-9: Indonesia Masih Belum Optimalkan Potensi

Reading time: 2 menit
Konferensi EBTKE ke-9: Indonesia Masih Belum Optimalkan Potensi
Konferensi EBTKE ke-9: Indonesia Masih Belum Optimalkan Potensi. Foto: Shutterstock.

Indonesia mesti mengoptimalkan penerapan Energi Baru Terbarukan (EBT). Hal ini demi menjaga ketahanan energi nasional. Kondisi pemanfaatan energi di Indonesia saat ini masih bersumber dari fosil. Bahkan sebagian di antaranya hasil subsidi dan berasal dari impor. Hal ini tentu menjadi tantangan yang menjadi pekerjaan rumah semua pihak.

Jakarta (Greeners) –  Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, menjelaskan pemerintah terus berkewajiban menyediakan energi dalam jumlah yang cukup, merata, terjangkau, dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Tugas tersebut dalam rangka mewujudkan energi berkeadilan. Di sisi lain, kemajuan peradaban, teknologi, gaya hidup, dan pertumbuhan ekonomi berdampak pada peningkatan permintaan energi. Adanya permintaan tersebut belum berbarengan dengan optimalisasi potensi EBT di Indonesia.

“Kita dikaruniai sumber energi baru terbarukan yang melimpah dengan total potensi lebih dari 400 gigawatt. Namun, baru termanfaatkan 10 gigawatt atau sekitar 2,5 persen,” ujar Arifin, dalam acara The 9th Indonesia EBTKE Virtual Conference and Exhibition 2020, Senin (23/11/2020).

Pemerintah Susun Green Strategy untuk Pemenuhan Energi Nasional

Arifin menyebut pemerintah saat ini tengah menyusun Green Strategy energi nasional. Strategi nasional ini berlaku dalam kurun tahun 2020 hingga 2040. Adapun tujuannya untuk memenuhi kebutuhan energi di Indonesia mencakup ketersediaan yang cukup, kualitas yang baik, harga terjangkau, dan ramah lingkungan dalam kurun waktu tahun 2020-2040.

Dia menambahkan, pengembagan strategi antara lain dalam meningkatkan lifting minyak; mendorong penggunaan kendaraan listrik; pengembangan dan pembangunan kilang; serta pengembangan EBT untuk mengurangi impor minyak.

“Pelaksanaan Green Strategy energi nasional  juga mempertimbangkan kondisi pengembangan energi nasional saat ini. Memperhatikan sumber EBT yang tersedia dan menyesuaikan dengan tren ekonomi EBT,” imbuhnya.

Lebih jauh, Arifin menyampaikan pemerintah Indonesia sudah menerbitkan Undang-undang nomor 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Aggrement. Di dalamnya mengatur target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional. Sektor energi, lanjut dia, menargetkan peurunan emisi sebesar 314 sampai 348 juta ton Karbon dioksida (Co2).

“Sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada tahun 2025 peran EBT dalam bauran energi nasional ditargetkan mencapai 23 persen dan diharapkan terus meningkat jadi 31 persen pada tahun 2050,” ungkapnya.

Baca juga: Serial Perkuliahan EDGS Soroti Political Ecology

Konferensi EBTKE: Pemanfaatan EBT Perlu Percepatan

Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Darma, mengatakan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia masih belum maksimal. Hingga akhir tahun 2019 saja, pencapaian target energi terbarukan dalam bauran energi baru mencapai 9,15 persen. Menurutnya, perlu percepatan penggunaan energi terbarukan di Indonesia dalam upaya mengantisipasi krisis ekonomi dan energi yang akan datang.

Berbagai negara di dunia, lanjut Surya, saat ini sedang berlomba-lomba mengembangkan energi terbarukan. Pemanfaatan energi terbarukan, lanjut dia, dapat mempercepat investasi. Termasuk pemulihan ekonomi yang mengutamakan pembangunan berkelanjutan di sektor energi.

“Pemanfaatan energi terbarukan masih dirasa perlu disebarluaskan secara komprehensif dan intensif kepada masyarakat, perguruan tinggi, mahasiswa, industri dan perusahaan, lembaga penelitian, parlemen, pemerintah daerah, dan media,” katanya.

Penulis: Muhammad Ma’rup

Top