Jakarta (Greeners) β Memperingati Hari Badak Sedunia pada 22 September, kondisi populasi badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) diketahui terus menurun selama beberapa dekade. Salah satu cara yang harus dilakukan yaitu melakukan tindakan penyelamatan yang didasarkan pada suatu dokumen legal berupa Rencana Aksi Darurat (Emergency Action Plan/EAP) badak bercula dua.
Pada lokakarya Penyusunan Emergency Action Plan (EAP) Penyelamatan Populasi Badak Sumatera di Jakarta, Rabu (19/09) lalu, para ahli dan praktisi konservasi badak memperkirakan jumlah individu badak di alam kurang dari 100 individu. Keberadaan satwa langka ini sangat terancam oleh perburuan, penyempitan dan fragmentasi habitat.
Hal ini juga berdampak pada menurunnya laju perkembangbiakan badak. Secara biologis badak sumatera mempunyai tingkat reproduksi yang rendah, karena siklus kawinnya (masa subur/estrus) badak betina hanya setiap satu setengah tahun dan masing-masing hanya terjadi selama empat hari. Belum lagi acanaman patologi reproduksi sebagaimana ditemukan pada badak-badak betina yang berada di dalam Suaka Rhino Sumatera (SRS) Taman Nasional Way Kambas, Lampung dan di Malaysia.
βEAP ini sangat penting dengan tujuan jangka pendek yaitu menghasilkan anakan badak sebanyak-banyaknya untuk dapat dikembalikan lagi ke habitat alamnya. Oleh karena itu, EAP ini harus disinergikan dan dapat diterjemahkan ke dalam penataan ruang daerah serta sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang maupun Menengah pemerintah daerahβ ujar Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indra Eksploitasia pada keterangan resmi yang diterima Greeners, Sabtu (22/09/2018).
BACA JUGA: Kawin, Upaya Menyelamatkan Populasi Badak Sumatera dari Kepunahan
Direktur Tropical Forest Conservation Action-Sumatra (TFCA-Sumatera), Samedi, mengatakan, keadaan badak sumatera di Indonesia saat ini sangat mirip dengan situasi di Malaysia sekitar 30 tahun yang lalu. Semua pihak sepakat bahwa badak sumatera saat ini berada dalam kondisi darurat. Kini, badak sumatera di Malaysia tinggal dua ekor, itupun berada di luar habitatnya. Para ahli badak tidak ingin pengalaman Malaysia terulang di Indonesia.
βPopulasi badak yang semakin menurun harus menjadi perhatian semua pihak. TFCA-Sumatera berkomitmen untuk mendukung pelaksanaan EAP dan konservasi badak Sumatera ini melalui bantuan pendanaan,β ujar Samedi.
BACA JUGA: Perdagangan Ilegal Satwa Liar di Indonesia Masih Marak
Ada dua pilihan aksi darurat yang didorong oleh EAP. Pertama, jika jumlah individu kurang dari 15 ekor per kantong populasi dan lokasinya terisolasi, maka diperlukan aksi darurat berupa penyelamatan individu untuk dikonsolidasikan ke dalam suaka perlindungan badak Sumatera. Kedua, bagi kantong populasi yang memiliki jumlah badak lebih dari 15 ekor namun terancam oleh hilangnya habitat dan perburuan, maka dilakukan aksi darurat berupa proteksi intensif.
Mengenai mekanisme tindakan darurat tersebut, pemerintah daerah dan UPT yang hadir dalam lokakarya EAP menyatakan dukungannya terhadap langkah yang akan diambil. βTentunya kami sepakat untuk melaksanakan apa yang diamanahkan dalam EAP ini. Kami siap bila memang harus membangun suaka badak sumatera di wilayah Aceh untuk menyelamatkan badak-badak yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser,β ujar Kepala BKSDA Aceh Sapto. βJika memang SRS akan dibuat, sebaiknya lokasinya tidak keluar dari daerah asal badak Sumatera,β tambah Sapto.
Sebelumnya, TFCA-Sumatera telah memberikan pendanaan untuk penyusunan dokumen EAP 2018 β 2021. Berbagai upaya perlindungan kawasan dan pengamanan spesies ini juga terus didukung di 3 bentang alam di Sumatera yaitu di Kawasan Ekosistem Leuser, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Way Kambas yang diketahui merupakan rumah bagi badak sumatra yang tinggal saat ini.
Editor: Renty Hutahaean