Flora dan Fauna Indonesia, “Merdeka”kah dari Perubahan Iklim dan Deforestasi?

Reading time: 4 menit
perubahan iklim

Ilustrasi. Foto: wikemedia commons

Menjaga alam dengan nilai budaya lokal

Berkaca dari kasus-kasus tersebut, nampaknya kelangsungan hidup flora dan fauna tersebut masih terjajahi oleh pihak dan oknum kepentingan. Sebagian lapisan masyarakat kurang memiliki kesadaran dan pemahaman tentang makna penting keanekaragaman hayati bagi kehidupan sehari-hari dan aset pembangunan. Sifat serakah manusia menjadi akar dari seluruh permasalahan lingkungan di bumi. Oleh karena itu, sebagai manusia yang berkewajiban menjaga Bumi Pertiwi ini, hendaknya perlu membangkitkan kembali nilai-nilai dan tradisi budaya lokal dalam melakukan perlindungan sumber daya alam secara ramah.

Di beberapa daerah Indonesia, nilai kearifan lokal tergambar dari keharmonisan antara alam dan manusia, contohnya pada suku Baduy di Banten, Jawa Barat dan masyarakat di kampung Kalaodi, Kota Tidore, Maluku Utara, yang tidak terlepas dari aturan-aturan dan ketentuan adat masing-masing daerah.

Dilansir pada laman mongabay.co.id (9 Oktober 2016), bahwa masyarakat Kalaodi memiliki budaya dan tradisi ketat dalam menjaga alam. Warga setempat menyebut dengan istilah Bobeto. Bobeto bermakna janji tidak berbuat jahat, jujur dan selalu menjaga alam. Dalam bahasa Tidore, Bobeto merupakan sumpah adat secara turun temurun. Jika ada warga yang melanggar adat dan tata aturan tersebut, maka mereka termasuk merusak alam dan dampaknya akan dirasakan langsung.

Selain itu, masyarakat Kalodi memiliki ritual ucap syukur nikmat alam dari Sang Kuasa usai panen. Tradisi ini disebut Paca Goya atau pesta pasca panen. Tradisi ini memiliki kemiripan dengan Hari Raya Nyepi di Bali, semacam istirahat dari beragam aktivitas. Selama tiga hari masyarakat berhenti beraktivitas baik ke kebun atau pekerjaan lain. Mereka juga membersihkan tempat- tempat yang dianggap keramat seperti bukit dan gunung.

Berpacu dari kearifan lokal, tidak dipungkiri bahwa rata-rata upaya konservasi/penyelamatan lingkungan terbilang memakan waktu yang relatif lama dan lambat, namun sudah sepatutnya kita mengapresiasi usaha dan kerja keras seluruh masyarakat pro lingkungan, instansi pemerintahan, stakeholder, lembaga-lembaga, instansi dan organisasi lingkungan yang selalu berjuang terkait aksi konservasi/perlindungan keanekaragaman hayati.

Sikap optimis dan etika peduli lingkungan harus selalu ditanamkan di setiap upaya “memerdekakan” bumi dari dampak perubahan iklim dan deforestasi. Tidak ada usaha yang terbilang sia-sia, jika kita berniat untuk menyembuhkan kembali bumi ini, walau hanya dimulai dari menanam satu bibit kecil tanaman. (*)

Top