Gempa Aceh Picu Gesekan Lempeng Indoaustralia

Reading time: 3 menit

Bengkulu (Greeners) – Gempa berkekuatan 8,5 pada skala Richter yang mengguncang Simeulue, Aceh pada Rabu (11/4) diduga akan memicu munculnya gempa lain yang diakibatkan gesekan lempeng Indoaustralia yang terdapat di sepanjang perairan Barat Sumatra.

Kepala Stasiun Geofisika BMKG Kepahiang, Bengkulu Dadang Permana mengatakan perlu diwaspadai munculnya gempa lain di jalur yang sama sehingga masyarakat yang bermukim di sepanjang pesisir Barat Sumatra, mulai dari Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu dan Lampung tetap harus waspada.

Demikian juga masyarakat yang bermukim di kepulauan di pantai Barat Sumatra seperti Simeulue, Nias, Mentawai, dan Enggano di wilayah Provinsi Bengkulu.

“Sangat berpotensi memicu munculnya gempa lain di jalur yang sama yakni lempeng Indoaustralia yang memanjang di perairan Barat Sumatra,” katanya di Bengkulu, Kamis.

Dadang mengatakan, sejak gempa pertama berkekuatan 8,5 SR yang mengguncang Aceh dan hampir seluruh wilayah Sumatra, telah terjadi 25 kali gempa susulan yang berkekuatan di atas 5 SR.

Gempa susulan terbesar kata dia terjadi pada pukul 17.45 WIB atau dua jam setelah gempa pertama dengan kekuatan 8,3 SR yang juga berpotensi menimbulkan tsunami.

Besarnya kekuatan gempa membuat sejumlah wilayah di Sumatra bagian Barat, termasuk Kota Bengkulu dan sekitarnya mendapat peringatan tsunami.

Untuk mendorong kewaspadaan warga, BMKG pusat membunyikan dua sirene peringatan dini tsunami yang terdapat di dua lokasi di Kota Bengkulu.

Sirene tersebut terdapat di lokasi wisata Pantai Panjang dan satu sirene lainnya terdapat di kompleks Kantor Gubernur Bengkulu yang hanya berjarak 200 meter dari pantai.

Sementara menara pemantau tsunami yang baru dibangun pemerintah Provinsi Bengkulu di Kelurahan Malabero sama sekali belum difungsikan untuk memantau ketinggian gelombang.

Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bengkulu, Damin mengatakan anggota Satgas sudah memantau kondisi air laut untuk melihat kemungkinan terjadinya tsunami.

“Anggota tim sudah memantau langsung ke pantai apakah air laut surut atau mengalami kenaikan, tapi sampai sekarang masih normal,” katanya.

Selain itu kata dia, warga sudah diimbau agar waspada dan tidak panik menghadapi kemungkinan tsunami dan dua sirene peringatan dini tsunami di dua lokasi sudah dibunyikan oleh BMKG.

1.346 gempa selama 2011

Wilayah Bengkulu yang berada di pertemuan lempeng Indoaustralia dan Eurasia memang berada di zona merah potensi gempa bumi dan tsunami. Stasiun Geofisika BMKG Kepahiang, Bengkulu mencatat selama 2011, daerah ini dilanda 1.346 kali gempa bumi, namun yang dirasakan getarannya hanya 25 kali.

“Jumlah gempa yang melanda Bengkulu terekam oleh 10 alat pendeteksi gempa atau sensor seismograf,” kata Dadang Permana.

Ia mengatakan, jumlah gempa tersebut tergolong normal atau stabil. Gempa Bengkulu dan wilayah Barat Pulau Sumatera diakibatkan gesekan lempeng Indoaustralia yang membentang di palung Sumatera dan lempeng Eurasia yang membentang di Bukit Barisan.

Untuk merekam gempa yang terjadi di daerah ini, BMKG Kepahiang memiliki 10 alat pendeteksi yakni enam alat yang mendeteksi gempa berkekuatan diatas 5 SR dan empat alat pendeteksi gempa berkekuatan di bawah 5 SR.

Rekaman 10 alat pendeteksi gempa tersebut menyebutkan pada Januari 2011 Provinsi Bengkulu dilanda 120 kali gempa, dimana yang dirasakan getarannya sebanyak empat kali. Pada Februari terjadi 94 kali gempa dan yang dirasakan getarannya hanya satu kali. Pada Maret 2011 terjadi 86 kali gempa dengan jumlah yang dirasakan dua kali.

Selanjutnya pada April Bengkulu dilanda 122 kali gempa, namun yang dirasakan getarannya hanya satu kali. Jumlah gempa meningkat pada Mei sebanyak 148 kali dan empat di antaranya dirasakan getarannya.

Pada Juni menurun menjadi 130 kali gempa dengan jumlah getaran yang dirasakan mencapai tujuh gempa. Sedangkan pada Juli gempa terjadi 121 kali dan getarannya tidak dirasakan oleh warga.

Peningkatan jumlah gempa terjadi pada Agustus sebanyak 129 kali dan empat di antaranya dirasakan getarannya. Sementara jumlah gempa pada September dan Oktober kembali menurun, masing-masing sebanyak 84 kali dan 98 kali. Pada September dirasakan sebanyak satu kali dan Oktober lima kali.

Kenaikan jumlah gempa kembali terjadi pada November yakni 114 kali gempa dan dua di antaranya dirasakan getarannya. Sedangkan pada Desember 2011 terjadi 80 kali gempa dan tidak ada yang dirasakan getarannya.

Dadang menyebutkan, gempa dengan kekuatan di atas 5 SR yang direkam enam alat pendeteksi gempa terhubung langsung dengan BMKG pusat. Informasi tentang gempa dan kekuatan skalanya akan terekam paling lama lima menit setelah gempa.

“Sedangkan empat alat lainnya mendeteksi kekuatan di bawah 5 SR dan datanya hanya terekam ke BMKG Kepahiang,” katanya.

Ia mengatakan, gesekan lempeng Eurasia pada 1979 menimbulkan gempa berkekuatan 6 SR yang berpusat di Kepahiang, mengakibatkan empat korban jiwa dan ribuan rumah rusak.

Sementara gesekan lempeng Indoaustralia menimbulkan gempa besar berkekuatan 7,3 SR pada 2000 dan kekuatan 7,9 SR pada 2007 yang juga menimbulkan korban jiwa dan ribuan rumah rusak berat.

Menurut dia, meski peralatan pendeteksi gempa sudah cukup memadai, kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana serta mengetahui daerahnya sebagai daerah rawan bencana adalah hal yang tidak kalah penting. (G20)

Top