Hukuman yang Minim dalam Perdagangan Satwa Dinilai Tak Punya Efek Jera

Reading time: 3 menit
Perdagangan Satwa
Foto: shutterstock

Jakarta (Greeners) – Maraknya kasus perdagangan satwa ilegal dinilai karena produk hukum yang menjerat pelaku masih kurang. Selama ini penegakan hukum terhadap praktik tersebut masih bertumpu pada hukum pidana. Hukuman yang dijatuhkan pun disebut relatif rendah bahkan tidak memberikan efek jera.

Ketua Yayasan Auriga Nusantara, Timer Manurung mengatakan, putusan hukum masih rendah dilihat dari kasus perdagangan satwa yang dilindungi. Ia menjelaskan, misalnya, sanksi pidana penjara bagi tersangka hanya diganjar selama hitungan bulan dan denda yang dikenakan masih kecil. Hukuman juga tidak menyentuh aktor utama, tetapi hanya pelaku teknis di lapangan.

“Produk hukum di lingkungan masih minim. Perspektif pemulihannya tidak ada yang menyebabkan realitas populasi tumbuhan dan satwa di alam Indonesia menuju kepunahan. Jadi, secara populasi menurun semua, apalagi mega fauna seperti gajah, harimau, badak, dan orang utan,” ujar Timer pada Webinar Wildlife in Indonesia Loss, Damage, Sanctions pada Selasa, (30/06/2020).

Baca juga: TuK Indonesia: Korporasi Kelapa Sawit Kuasai Hutan Indonesia

Sementara itu Profesor Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyampaikan bahwa peluang gugatan perdata untuk satwa liar yang dilindungi hanya bisa menggunakan dua jenis gugatan. Rosa menyebut, pertama yakni wanprestasi atau ingkar janji dengan syarat harus ada perjanjian yang tidak dipenuhi.

Kedua, gugatan perbuatan melawan hukum dengan dalil gugatan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Menurut Rosa, kerugian dalam pasal tersebut berupa kerugian materiil (nyata) dan kerugian immateriil (tidak nyata) yang diatur dalam Pasal 1246 KUHP. Ia menuturkan pasal tersebut juga bisa digabungkan dengan undang-undang lingkungan hidup terkait. Tuntutan yang diajukan dalam Perbuatan Melawan Hukum (PMH), kata dia, dapat berupa ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian materiil yang ditimbulkan atau mengembalikan dalam keadaan semula (natura).

Rosa juga menyayangkan bahwa di Indonesia belum terdapat standar, pedoman, atau evaluasi mengenai penghitungan yang tepat terhadap ganti rugi satwa liar. Hal ini menurutnya, bisa dilakukan seorang hakim yang dibantu oleh ahli.

Perdagangan Satwa

Foto: shutterstock

“Diharapkan memang harus ada satu standar bahwa satwa ini bisa dinilai minimum ganti ruginya. Saya juga memimpikan ada pengadilan khusus lingkungan hidup sehingga suatu kasus bisa dipimpin oleh hakim yang pengetahuannya cukup mengenai lingkungan hidup maupun konservasi,” ujar Rosa.

Sedangkan untuk kerugian immateriil seperti ketakutan, keterkejutan, kesakitan, kehilangan, dan kesenangan hidup, kata Rosa, sangat susah diterapkan pada kasus perdagangan satwa ilegal. Menurutnya memberikan bukti bahwa satwa tersebut merasakan kesakitan dan ketidaksenangan hidup tidak mudah.

“Pada kerugian immateriil biasanya terkait dengan rasa sakit. Kita tidak bisa mewakili rasa sakit satwa yang tidak senang berpisah dengan habitatnya. Sulit pembuktiannya untuk ditunjukkan,” ucapnya.

Jacob Phelps, Pengajar di Universitas Lancaster Environment Center, UK mengatakan bahwa dalam kasus perdagangan satwa ilegal harus memperhitungkan nilai kerusakan dan kerugian lain. Ia menjelaskan dampak tersebut, misalnya, meningkatnya biaya rehabilitasi dan reintroduksi, berkurangnya populasi lokal dan kemampuan bertahan hidup spesies terancam punah yang dilindungi oleh hukum, ekosistem, kerugian nilai ilmiah, meningkatnya biaya pengawasan dan penegakan hukum hingga rusaknya kepercayaan publik dan reputasi.

“Kita harus berpikir rehabilitasi hewan itu jika masih hidup juga dampak dari satu satwa di populasi dan habitat mereka. Terlebih lagi jika tugasnya sangat penting terhadap ekosistem,” ujarnya.

Baca juga: YLKI Pertanyakan Temuan Obat dan Jamu Herbal Penangkal Covid-19

Jacob mencontohkan satu kasus di Medan, Sumatera Utara yang memberikan putusan hukuman untuk tersangka perdagangan satwa pangolin. Pelaku diganjar hukuman satu tahun lima bulan penjara dengan denda Rp50 juta. Barang bukti yang disita berupa 89 ekor pangolin hidup, 5 ton pangolin beku, dan 77 kilogram sisik pangolin.

Menurutnya, dari kasus besar tersebut tidak memberikan efek jera jika keputusan hukuman masih ringan. Denda dan hukuman penjara tersebut, kata dia, tidak sebanding dengan perbuatan memperdagangkan satwa yang dilindungi dan terancam punah.

Ia pun membandingkan produk hukum yang ada di Indonesia dengan kasus pencemaran tumpahan minyak Exxon Valdez di Alaska pada 1989. Atas kejadian tersebut tersangka dikenakan denda pidana sebesar $25 juta, sebanyak $100 juta kepada pemerintah. Sementara denda untuk gugatan perdata sebanyak $500 juta kepada nelayan, pertanggungjawaban kerusakan kepada publik sebesar USD 900 juta untuk restorasi, biaya interim (sementara), dan biaya untuk menilai kerugian.

Untuk kasus perdagangan satwa ilegal pangolin di Medan, Jacob mengatakan tuntutan hukumnya bisa menggunakan gugatan perdata. Misalnya dengan meminta ganti rugi biaya pemeliharaan dan pelepasliaran 89 pangolin hidup, biaya untuk menaikkan populasi pangolin liar terhadap 213 ekor yang dibunuh, pemulihan terhadap kerugian reputasi, keilmuan, dan budaya. Berikutnya kombinasi konservasi habitat dan peningkatan populasi, permintaan maaf kepada publik, dan doa di muka umum.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Devi Anggar Oktaviani

Top