Insiden di Gunung Rinjani Terulang, Pendaki Harus Pahami Risiko Medan

Reading time: 2 menit
Gunung Rinjani. Foto: Freepik
Gunung Rinjani. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Dalam dua bulan terakhir, Gunung Rinjani di Provinsi Nusa Tenggara Barat mengalami dua insiden yang menyorot perhatian dunia. Guru Besar Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, M. Baiquni, menegaskan bahwa pendaki harus memahami risiko medan serta melakukan mitigasi yang tepat agar insiden serupa tidak terulang kembali.

Insiden yang menjadi sorotan global bermula dari seorang wisatawan asal Brasil yang jatuh ke jurang di Gunung Rinjani dan meninggal dunia pada Juni 2025. Kemudian, pada 16 Juli 2025, seorang warga negara Swiss juga terjatuh di jalur pendakian dan mengalami patah tulang di beberapa bagian tubuh.

Baiquni menilai bahwa Gunung Rinjani memiliki karakter topografi yang tidak bisa dianggap remeh. Medan yang terbentuk dari aktivitas vulkanik di sana menghasilkan tebing curam, kaldera tajam, dan paparan gas sulfur berisiko tinggi bagi pendaki pemula.

BACA JUGA: 10 Tips Persiapan Mendaki Gunung bagi Pendaki Pemula

“Gunung Rinjani terbentuk dari intrusi magma yang mengangkat Pulau Lombok. Kaldera yang curam, tebing-tebing tajam, serta keberadaan Danau Segara Anak membuatnya berbeda dari pegunungan non-vulkanik seperti Alpen atau Andes,” ungkapnya dilansir Berita UGM, Jumat (18/7).

Menurutnya, banyak pendaki yang menganggap medan Rinjani sama dengan gunung-gunung populer lainnya, padahal medan vulkanik memiliki potensi bahaya berbeda. Tanpa pemahaman yang cukup, reaksi tubuh terhadap lingkungan ekstrem dapat menyebabkan keputusan yang keliru dan membahayakan.

“Wisatawan yang belum terbiasa dengan karakter gunung vulkanik bisa linglung, bahkan halusinasi ketika terpapar sulfur atau saat berada di ketinggian dengan oksigen tipis,” tambahnya.

Pendakian Bukan Soal Kekuatan Fisik

Pendakian menurut Baiquni bukan hanya soal kekuatan fisik, melainkan kemampuan mengelola ego dan emosi. Ia juga menyoroti pentingnya pembinaan mental dan kesadaran diri. Sebab, pendakian bukan soal menaklukkan alam, tetapi lebih kepada mengelola hasrat dan batas.

Dalam hal tersebut, pendakian menjadi ruang kontemplatif yang menantang pelakunya untuk mengenali dirinya sendiri. Tanpa pengendalian diri, keinginan mencapai puncak bisa berubah menjadi sikap nekat yang justru membawa risiko fatal.

“Saya selalu ingat quote dari Reinhold Messner, it’s not the mountain we conquer, but ourselves,” ucap Baiquni.

Bangun Sistem Mitigasi Risiko Wisata Gunung

Sebagai bagian dari refleksi, Baiquni menyampaikan lima pilar penting dalam membangun sistem mitigasi risiko wisata gunung. Pilar pertama adalah klasifikasi pendaki berdasarkan tingkat pengalaman dan pelatihan.

Menurutnya, pengelola harus mampu membedakan mana pendaki pemula, mana yang sudah mengikuti pelatihan dasar, dan mana yang profesional.

Selanjutnya, ia menekankan pentingnya pengendalian jumlah pengunjung yang masuk jalur pendakian. Jalur-jalur ekstrem dengan medan sempit tidak boleh dilalui secara massal agar tidak menambah tekanan pada ekosistem maupun meningkatkan risiko kecelakaan.

BACA JUGA: Chandra Sembiring, Merawat Kemanusiaan di Ketinggian

Ia juga mendorong pemetaan dan promosi destinasi vulkanoturisme alternatif supaya pengunjung memiliki daya tarik serupa ke gunung-gunung lain di Indonesia yang memiliki daya tarik serupa. Sehingga, tekanan terhadap Rinjani bisa dikurangi.

Selanjutnya, Baiquni menyoroti pentingnya informasi yang transparan, baik terkait kondisi cuaca, tarif jasa porter dan guide, hingga informasi teknis tentang jalur. “Wisatawan tidak boleh membeli ilusi, mereka harus datang dengan ekspektasi dan kesiapan yang benar,” katanya.

Sistem tanggap darurat yang terintegrasi juga penting. Mulai dari koordinasi tim penyelamat hingga sarana komunikasi dan jalur evakuasi. Kecepatan respons dan kesiapsiagaan di lapangan menjadi kunci dalam meminimalkan dampak jika insiden terjadi.

Sistem ini perlu dukungan secara institusional, tidak hanya bergantung pada inisiatif lokal atau relawan semata. Menurutnya, pilar-pilar tersebut menjadi pondasi bagi pariwisata alam yang bukan hanya indah, tetapi juga aman dan berkelanjutan.

“Risiko tidak akan hilang, tapi bisa terkendali dengan perencanaan yang matang dan kebijakan yang berpihak pada keselamatan,” tegasnya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top