Chandra Sembiring, Merawat Kemanusiaan di Ketinggian

Reading time: 5 menit
dr Chandra Sembiring
dr. Chandra Sembiring, dokter alam liar, saat berada di klinik Pheriche, Himalaya. Foto: istimewa

Jakarta (Greeners) – Menjadi dokter di alam liar bukanlah pilihan umum bagi mayoritas mahasiswa lulusan pendidikan kedokteran. Hal itu tak berlaku bagi Chandra Sembiring Meliala. Berawal dari hobi berpetualang di gunung hingga susur pantai, pria kelahiran Medan ini justru terinspirasi menjadi dokter yang bertugas di ketinggian. Pada 2015, bersama para dokter profesional dari seluruh penjuru dunia, ia menjalani pelatihan medis alam liar di Gunung Everest, Nepal selama tiga minggu. 

Dokter yang akrab disapa Biring ini bercerita. Setelah lulus dari fakultas kedokteran Universitas Padjajaran sebelas tahun silam, ia aktif dalam berbagai kegiatan sosial di Tanah Air. Misi kemanusiaan itu ia mulai dari bencana letusan Gunung Merapi (2010), tsunami Mentawai (2010), kecelakaan pesawat Sukhoi di Gunung Salak (2012), erupsi Gunung Kelud dan Sinabung (2014), gempa bumi di Pidie Jaya, Aceh (2016), hingga banjir bandang di Garut (2016).

Menjadi dokter alam liar merupakan cita-citanya sejak lama. Ia ingin Indonesia bisa memiliki dokter yang siap sedia menolong masyarakat di pedalaman atau alam liar seperti di negara-negara maju. Apalagi Indonesia merupakan negara yang berada di wilayah cincin api (Ring of Fire) dan rentan mengalami bencana alam seperti gempa bumi.

dr Chandra Sembiring

dr. Chandra Sembiring, dokter alam liar, saat berada di Nepal. Foto: Istimewa.

Mengedukasi Para Pendaki

Tekad Chandra untuk menolong masyarakat pedalaman membawanya ke Nepal dan mengambil pelatihan medis alam liar (wilderness medicine). Dokter alam liar yang pernah bergabung dengan tim ekspedisi Leuser (2015) ini kemudian mengambil spesialisasi penyakit di ketinggian (high altitude medicine). Di sana, ia menemukan berbagai kasus penyakit yang belum pernah ia jumpai sebelumnya.

“Banyak fakta yang saya lihat tentang kecelakaan, kematian di gunung, penyakit tropis, penyakit alam liar yang memang belum terbuka di Indonesia,” ucapnya.

Kasus kecelakaan dan kematian yang menimpa para pendaki di Gunung Everest juga menjadi pelajaran berharga bagi dokter alam liar sepertinya. Di sebuah klinik terpencil yang beroperasi di bawah naungan Himalayan Rescue Association (HRA), Pheriche, Chandra dan dokter-dokter lain mempraktikkan ilmunya. Ia memberikan edukasi mengenai cara beradaptasi di ketinggian kepada para pendaki yang datang. 

“Itu (edukasi) cukup efektif karena begitu edukasi dilakukan angka kecelakaan dan kematian bisa menurun drastis,” kata dia.

Bekal tersebut yang selanjutnya ia bawa ke dalam negeri. Dokter alam liar ini pun mulai masuk ke daerah-daerah di bawah kaki gunung di Indonesia. Hingga kini, Chandra telah berkeliling ke delapan gunung di nusantara untuk melatih petani, porter, dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Ia mengajak masyarakat untuk menjaga dan melestarikan alam termasuk cara merespons bencana yang datang.

Baca juga:  KUN Humanity System+, Sosialisasikan Sistem Penyelamatan di Gunung

dr Chandra Sembiring

dr. Chandra Sembiring, dokter alam liar, saat berada di klinik Pheriche, Himalaya, bersama tim dokter lainnya. Foto: Istimewa.

Membangun Organisasi Nirlaba Tanggap Darurat

Keinginan Chandra untuk menolong masyarakat tidak berhenti sampai di situ. Sekembalinya dari Afghanistan, ia pun membangun Non-Government Organisation (NGO) bernama KUN Humanity System. Organisasi nirlaba tersebut, kata dia, berfokus pada upaya tanggap darurat (emergency response) terutama kebutuhan medis di lokasi bencana alam.

Pembentukan KUN ini sendiri berawal dari ekspedisi nusantara saat ia tanpa sengaja bertemu teman-temannya di sebuah ekspedisi pendakian tujuh gunung di Indonesia (Seven Summits). Setelah ekspedisi ini berakhir pada 2015, mereka sepakat untuk bertemu kembali dan berbicara lebih dalam untuk mewujudkan organisasi berbasis sukarelawan tersebut.

“KUN sebagai salah satu gerakan untuk menjalankan program ruang tumbuh bersama masyarakat,” ujarnya.

Sinergi antara manusia dengan alam dan edukasi mitigasi bencana ke masyarakat juga menjadi latar belakang terbentuknya organisasi ini. Menurutnya, selain membutuhkan pengobatan akan psikologisnya, masyarakat pasca-bencana juga memerlukan keterampilan atau upaya mitigasi saat bencana alam terjadi.

 

dr Chandra Sembiring

dr. Chandra Sembiring, dokter alam liar, saat memeriksa pasien. Foto: Istimewa.

Memfasilitasi Masyarakat di Wilayah Pasca-Bencana

Bidang medis juga menjadi salah satu fokus program KUN di samping pemberdayaan masyarakat. Chandra menyebut program utama KUN Humanity System di wilayah pasca-bencana adalah Mental Health Psychosocial Support dan Siap Siaga Bencana.

“Kalau KUN ini multidisiplin collaborative movement. Artinya di dalam KUN itu bukan hanya medis tapi ada psikolog, film-maker, IT, business development karena kita masuk ke social entrepreneur. Mereka ini teman-teman yang biasa turun ke bencana, ke dunia adventure, dan area konservasi,” kata dia.

Peran orang-orang tersebut yang juga membantu meningkatkan kapasitas lokal saat terjadi bencana di Palu pada 2018. Awalnya anggota KUN hanya berjumlah tiga orang, sedangkan kini bertambah menjadi ratusan orang lokal. Mereka turut berpartisipasi menjalankan program dan mitigasi kebencanaan.

“Kami mencoba mengembangkan potensi yang ada di wilayah pasca-bencana. Apa yang masyarakat butuhkan dan apa yang masyarakat bisa lakukan setelah bencana, kami mencoba membantu memfasilitasi itu,” ujarnya.

Dalam mencari tim yang solid, Chandra menghadapi tantangan tersendiri. Menurutnya, manusia memiliki kemampuan beradaptasi ketika memasuki suatu area dan situasi baru. Namun, permasalahannya tiap orang membutuhkan waktu yang berbeda-beda. Ia menyampaikan, jangan sampai situasi dan keterbatasan sarana membuat seseorang stres dan tidak bisa menjalani aktivitas seperti biasanya. Di organisasi KUN sendiri, para relawan telah menerima pelatihan-pelatihan agar terbiasa dengan situasi lapangan. 

dr Chandra Sembiring

dr. Chandra Sembiring, dokter alam liar sekaligus pendiri organisasi nirlaba, KUN Humanity System. Foto: Istimewa.

Kesenjangan SDM Hambat Aksesibilitas Kesehatan Warga di Daerah Terpencil

Dengan pengalaman membantu masyarakat di wilayah bencana dan terpencil, Chandra melihat masih banyak kondisi yang memerlukan perhatian. Salah satunya masalah keterbatasan Sumber Daya Manusia yang mempengaruhi aksesibilitas kesehatan di Indonesia. Ia mengatakan jumlah tenaga medis di daerah terpencil masih belum mumpuni untuk membantu masyarakat.

Di Ambon, Provinsi Maluku, misalnya, Chandra menyebut bahwa fasilitas sarana dan prasarana cukup lengkap. Hal tersebut terlihat dari adanya ambulans dan peralatan pemeriksaan kesehatan bagi warga. Namun, di sana sumber daya manusia belum mendukung. Bahkan kadang tidak ada atau jauh dari lokasi karena bukan orang sekitar. “Ada banyak gap kalau kita berbicara akses ke daerah terpencil,” kata dia.

Adapun jika dilihat dari proporsi staf, satu puskesmas diketahui memiliki 40 staf. Namun, hanya 9 atau 10 yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sisanya berstatus honorer atau sukarela. “Jadi proporsi dari staffing itu masih ada gap,” ujarnya.

Memberdayakan Dokter-dokter Muda

Solusi untuk mengatasi kesenjangan tenaga kesehatan ini cukup terjawab dengan adanya program Nusantara Sehat. Meski begitu, Chandra menyarankan agar pemerintah mengirim dokter-dokter muda yang secara khusus memiliki renjana melayani masyarakat di daerah terpencil. “Saya selalu tanamkan ke teman-teman yang turun ke lapangan, jangan karena gratis memberikan pelayanan seadanya. Namun, berikan empati kepada mereka, rasakan apa yang mereka rasakan,” ujarnya.

Selain itu, menurutnya fasilitas, sarana, dan prasarana perlu ditingkatkan agar masyarakat pelosok mempunyai hak yang sama dalam bidang kesehatan. Sebab, kata dia, aksesibilitas menjadi bagian dari isu global Sustainable Development Goals (SDGs). “Saat ini di semua kampanye kita mengangkat isu ‘live no one behind’. Semuanya harus diperhatikan, seperti masyarakat marjinal, kelompok disabilitas, masyarakat di daerah terpencil, suku-suku tertentu yang jauh dari akses informasi,” kata Chandra.

Biodata Dr. Chandra Sembiring

Biodata Dr. Chandra Sembiring

Penulis: Dewi Purningsih

 

Top