Jakarta (Greeners) – Aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, terbukti menimbulkan kerusakan serius terhadap lingkungan dan terumbu karang. Temuan ini terungkap dalam investigasi terbaru Auriga Nusantara dan Earth Insight.
Laporan bertajuk “Awas! Ancaman Pertambangan Nikel terhadap Raja Ampat” mendokumentasikan dampak parah yang terjadi di berbagai pulau berizin tambang di Raja Ampat. Di Pulau Kawei, nelayan tradisional mengaku kebisingan dan getaran dari aktivitas tambang. Kondisi tersebut juga telah mengusir ikan-ikan yang menjadi sumber pangan utama masyarakat. Sementara itu, di Pulau Manuran, terdapat gumpalan sedimen yang menimbun terumbu karang di perairan sekitar.
Secara keseluruhan, luas konsesi tambang nikel di Raja Ampat mencapai lebih dari 22.000 hektare. Aktivitas ini telah merusak kawasan UNESCO Global Geopark, mengancam 2.470 hektare terumbu karang, dan 7.200 hektare hutan alam. Bahkan, juga mengancam mata pencaharian lebih dari 64.000 penduduk di kabupaten seluas 3,66 juta hektare tersebut.
Ketua Auriga Nusantara, Timer Manurung mengatakan bahwa investigasi ini menunjukkan aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat menciptakan efek kerusakan berantai. Kerusakan itu bermula dari deforestasi dan sedimen tambang nikel yang merusak terumbu karang. Selain itu, terdapat indikasi perpindahan biota laut yang selama ini menjadi tumpuan kehidupan masyarakat lokal.
Menurut Timer, pemerintah semestinya menyadari keuntungan jangka pendek dari pertambangan tidak sebanding dengan manfaat jangka panjang keutuhan ekosistem, yang menopang keragaman hayati laut dan ekonomi pariwisata.
“Kami mendesak pemerintah segera mencabut seluruh izin tambang nikel di Raja Ampat, termasuk PT Gag Nikel di Pulau Gag,” kata Timer dalam keterangan tertulisnya.
Surat Pencabutan Izin Tambang Raja Ampat Nihil
Laporan Auriga Nusantara dan Earth Insight menyoroti sejumlah ancaman ekologis akibat pertambangan nikel di Raja Ampat. Sedimen nikel dan polusi suara dari aktivitas tambang berpotensi mengganggu biota laut penting. Biota tersebut seperti Pari Manta (Mobula birostris), spesies pari terbesar di dunia, serta lima spesies penyu dilindungi, termasuk Penyu Sisik yang kini terancam punah.
Dampak ekologis ini juga berimbas langsung pada mata pencaharian nelayan tradisional. Mereka melaporkan bahwa ikan dan lumba-lumba menjauh akibat kebisingan serta getaran alat berat. Sehingga hasil tangkapan menurun drastis.
Kondisi tersebut tidak hanya mengganggu ketahanan pangan lokal. Dampaknya juga mengancam sektor pariwisata, yang menjadi andalan utama ekonomi Raja Ampat dan pada 2023 dikunjungi sekitar 19.000 wisatawan.
Di samping itu, pasca-gelombang protes publik terhadap operasi tambang, pemerintah pada Juni 2025 mengumumkan pencabutan empat izin pertambangan nikel di Raja Ampat. Namun, hingga kini belum ada publikasi resmi terkait surat keputusan pencabutan tersebut, dan tidak tampak upaya pemulihan lingkungan atas kerusakan yang terjadi.
Ironinya, PT Gag Nikel di Pulau Gag, yang seharusnya berada dalam kawasan UNESCO Global Geopark, masih beroperasi hingga 3 September 2025. Kasus ini juga mencerminkan ancaman terhadap lebih dari 280 pulau kecil di Indonesia yang kini dibebani sekitar 380 izin pertambangan.
Analis Spasial Earth Insight, Tifanny Hsu menilai bahwa pengumuman pencabutan izin oleh pemerintah baru-baru ini merupakan langkah positif. Namun, masih beroperasinya tambang nikel di Raja Ampat dan ketidakpastian hukum terkait pencabutan tersebut menunjukkan bahwa harta karun dunia ini masih jauh dari aman.
“Perlindungan penuh terhadap ekosistem Raja Ampat hanya bisa terjadi dengan pencabutan seluruh izin tambang yang ada,” ujar Tifanny.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































