Kemenangan Warga Wawonii Menjadi Preseden Perlindungan Pulau Kecil

Reading time: 3 menit
Rakyat Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara telah menulis ulang sejarah perlawanan terhadap tambang di Indonesia. Foto: Jatam
Rakyat Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara telah menulis ulang sejarah perlawanan terhadap tambang di Indonesia. Foto: Jatam

Jakarta (Greeners) – Rakyat Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara telah menulis ulang sejarah perlawanan terhadap tambang di Indonesia. Setelah bertahun-tahun hidup di bawah ancaman tambang nikel milik PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak usaha Harita Group, warga Wawonii akhirnya memenangkan pertarungan hukum panjang di Mahkamah Agung.

Melalui Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 83 PK/TUN/TF/2025, Mahkamah Agung menolak permohonan PK dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat itu serta pihak perusahaan. Putusan ini sekaligus menguatkan pencabutan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) PT GKP di pulau kecil tersebut.

Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Muhammad Jamil menyatakan bahwa kemenangan ini bukan semata perkara hukum terkait legal dan ilegal. Namun, tentang persoalan hidup dan matinya warga pulau kecil.

“Sebab, kehidupan rakyat pulau kecil bertumpu pada hubungan timbal balik, pertukaran antara tubuh dengan tanah, pesisir, dan laut yang menjadi sumber kehidupan dan identitas mereka,” kata Jamil dalam keterangan tertulisnya, Rabu (5/11).

Menurutnya ketika tambang merusak ekosistem yang ada di sana, maka terputuslah pertukaran yang menopang kehidupan mereka. Baginya, kerusakan itu sama halnya dengan bentuk pembunuhan atas nama tambang nikel, transisi energi, dan tren rendah karbon.

Ketika tambang merusak semua itu, maka terputuslah pertukaran yang menopang kehidupan. Bukankah itu sama saja dengan bentuk pembunuhan yang dibungkus atas nama tambang nikel, transisi energi, dan mantra tren rendah karbon.

Proses Panjang Kemenangan Warga Wawonii

Di balik kemenangan pencabutan izin tambang di Wawonii, ada proses panjang di dalamya. Izin tambang di Wawonii awalnya terbit melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 576/Menhut-II/2014. Hal itu mencakup lebih dari 700 hektar kawasan hutan. Keputusan ini terbit tanpa mempertimbangkan kondisi sosial, ekologis, maupun ekonomi Pulau Wawonii, yang hanya seluas sekitar 867 km² dan menjadi rumah bagi 43.545 jiwa serta makhluk hidup endemik lainnya.

Pada akhir 2019, alat berat masuk untuk membangun infrastruktur pertambangan. Dampaknya langsung terasa. Mulai dari kebun warga rusak, sumber air bersih mengering, perairan pesisir berubah keruh, dan konflik horizontal meningkat. Ironisnya, puluhan warga dikriminalisasi karena mempertahankan tanah mereka.

Namun, warga tidak menyerah. Mereka bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil menggugat negara melalui peradilan Tata Usaha Negara (TUN) di Jakarta. Peradilan TUN ini memberi rakyat ruang untuk berkata tidak terhadap keputusan pejabat yang melanggar hukum atau merugikan hak mereka.

Hasilnya membuahkan kemenangan pada 7 Oktober 2024, ketika Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 403 K/TUN/TF/2024 membatalkan SK Menteri Kehutanan Nomor 576/Menhut-II/2014 terkait IPPKH PT GKP. Majelis hakim menegaskan bahwa kepastian hukum investasi tidak boleh mengorbankan keselamatan rakyat, ekologi, dan kehidupan di pulau kecil.

Kemenangan ini semakin menguat setelah pada 20 Juni 2025, saat Jatam menerima salinan resmi Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 264 Tahun 2025 tentang pencabutan SK tersebut. Meskipun PT GKP kemudian mengajukan Peninjauan Kembali pada 1 Agustus 2025, Mahkamah Agung menolak permohonan itu dan menegaskan kemenangan warga Wawonii.

Teguran Keras bagi Negara

Kemenangan Wawonii bukan hanya kemenangan warga, tetapi juga teguran keras bagi negara. Kebijakan tambang nikel atas nama transisi energi dan hilirisasi tidak boleh berjalan tanpa keadilan bagi masyarakat terdampak. Presiden dan kementerian terkait perlu segera mengambil langkah nyata, termasuk moratorium nasional atas izin tambang di pulau-pulau kecil.

Pulau-pulau kecil adalah garis pertahanan terakhir Indonesia dan cermin sejauh mana negara menghormati hukum serta kemanusiaan. Manager Hukum dan Pembelaan Walhi Nasional, Teo Reffelsen menegaskan bahwa kemenangan Wawonii harus menjadi preseden untuk menghentikan semua izin industri ekstraktif di pulau-pulau kecil yang tergolong ultra hazardous bagi lingkungan dan masyarakat.

Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Edy K. Wahid menambahkan bahwa putusan ini merupakan tonggak penting dalam penegakan hak asasi manusia dan prinsip negara hukum. Perlindungan ruang hidup rakyat, terutama masyarakat pulau kecil, adalah bagian tak terpisahkan dari kewajiban negara.

Lebih dari sekadar kemenangan hukum, kasus Wawonii menjadi dasar untuk meninjau dan menghentikan praktik serupa di wilayah lain. Misalnya di Kepulauan Raja Ampat, Maluku, dan pulau-pulau kecil lain di Indonesia. Menurut Edy, negara wajib menafsirkan kembali arah pembangunan dan kebijakan hilirisasi agar tidak menjadi kedok baru bagi perampasan ruang hidup.

Selain itu, pemerintah dan aparat penegak hukum harus mengusut dugaan tindak pidana dan kerugian negara akibat aktivitas pertambangan ilegal PT GKP. Hal itu penting demi memastikan bahwa keadilan hukum berjalan hingga tuntas dan tidak berhenti pada kemenangan administratif semata.

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top