MA Tolak Kasasi Suku Awyu, Penyelamatan Hutan Papua Makin Berat

Reading time: 3 menit
Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi suku Awyu. Foto: Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace
Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi suku Awyu. Foto: Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace

Jakarta (Greeners) – Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi suku Awyu untuk mempertahankan hutan adatnya dari ekspansi korporasi sawit di Boven Digoel, Papua Selatan. Dengan putusan ini, perjuangan suku Awyu untuk menyelamatkan hutan Papua akan semakin berat.

Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro, dan Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua kecewa atas putusan tersebut. Menurutnya, putusan ini menambah deretan kabar buruk bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang berjuang di meja hijau melawan ancaman perusakan lingkungan hidup.

“Saya kecewa dan sakit hati karena saya sendiri sudah tidak ada jalan keluar lain yang saya harapkan untuk bisa melindungi dan menyelamatkan tanah dan manusia di wilayah tanah adat saya. Saya merasa lelah dan sedih karena selama saya berjuang tidak ada dukungan dari pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Kepada siapa saya harus berharap dan saya harus berjalan ke mana lagi?” kata Hendrikus lewat keterangan tertulisnya, Jumat (1/11).

BACA JUGA: Suku Awyu dan Moi Serukan Penyelamatan Hutan Adat Papua

Hendrikus mengajukan kasasi ke MA karena Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura dan PTTUN Makassar menolak gugatan serta bandingnya. Gugatan yang Hendrikus Woro ajukan tersebut menyangkut izin kelayakan lingkungan hidup yang Pemerintah Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL) terbitkan.

Perusahaan sawit tersebut telah mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare. Luas wilayahnya setengah luas DKI Jakarta dan berada di hutan adat marga Woro–bagian dari suku Awyu.

Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi suku Awyu. Foto: Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace

Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi suku Awyu. Foto: Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace

Hakim Keluarkan Pendapat Berbeda

Dalam dokumen putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 458 K/TUN/LH/2024, tertulis pengambilan putusan tersebut saat rapat permusyawaratan Majelis Hakim. Rapat tersebut berlangsung pada 18 September lalu. Dokumen putusan lengkap itu baru bisa publik akses pada 1 November 2024. Satu dari tiga hakim yang mengadili perkara ini, Yodi Martono Wahyunadi, mengeluarkan pendapat berbeda (dissenting opinion).

Salah satu poin penting pendapat berbeda tersebut menyangkut tenggat waktu gugatan 90 hari. Hal ini sebelumnya menjadi dalih PTTUN Makassar untuk menolak permohonan banding Hendrikus. Dalam pertimbangannya, hakim Yodi merujuk Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018, bahwa perhitungan yang dimaksud hanya hari kerja. Perhitungan tenggat waktu juga mesti mencakup hari libur lokal Provinsi Papua.

BACA JUGA: Klaim Hutan Adat Terkendala Regulasi

Namun, karena mempertimbangkan keadilan substantif ketimbang keadilan formal, hakim Yodi berpendapat pengadilan perlu mengesampingkan ketentuan tenggat waktu itu dengan melakukan invalidasi praktikal.

Anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua, Tigor Hutapea mengatakan dari pertimbangan menyangkut tenggat waktu tersebut, MA inkonsisten dalam menerapkan aturan yang mereka buat. Padahal, peradilan internal menggunakan Peraturan Mahkamah Agung sebagai petunjuk.

“Putusan MA ini tidak berarti objek gugatan sudah benar karena dua hakim tidak memeriksa substansinya. Namun, satu majelis hakim dalam dissenting opinion menyatakan bahwa penerbitan amdal terbukti belum mengakomodasi kerugian di wilayah kehidupan masyarakat adat yang dikelola dan dimanfaatkan turun-temurun,” ucapnya.

Hakim Yodi berpendapat bahwa objek gugatan–surat izin lingkungan hidup untuk PT IAL–bertentangan dengan berbagai asas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sehingga harus dibatalkan. Namun, hakim Yodi kalah dalam pemungutan suara.

Suku Awyu Ajukan Kasasi

Selain kasasi perkara PT IAL, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi lainnya. Mereka mengajukan gugatan terhadap PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya.

Dua perusahaan sawit tersebut telah dan akan berekspansi di Boven Digoel berdasarkan keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Putusan MA atas kasus PT IAL ini bisa menjadi penentu nasib hutan hujan seluas 65.415 hektare. Hutan tersebut berada di dalam konsesi PT KCP dan PT MJR.

Sebelumnya, masyarakat adat Awyu mengumpulkan 253.823 tanda tangan dukungan dari publik saat menunggu pengadilan kasus PT IAL. Petisi ini mereka serahkan langsung ke MA pada 22 Juli lalu.

Saat itu, publik di media sosial ramai-ramai membahas perjuangan suku Awyu, yang puncaknya muncul tagar #AllEyesOnPapua. Sayangnya, dukungan publik untuk perjuangan itu tak cukup mengetuk pintu hati para hakim.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top