Menteri LHK Tawarkan Verifikasi Seluruh Usulan Hutan Adat

Reading time: 3 menit
hutan adat
Ilustrasi. Foto: Ist.

Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan akan segera melakukan verifikasi hutan adat seluas 2,2 juta hektare yang dikuasai oleh 152 komunitas di berbagai daerah. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari percepatan program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS).

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya menawarkan terobosan yang cukup ekstrem yaitu memverifikasi seluruh usulan dengan mengambil sampel 20 persen dari total luas usulan. Terobosan ini pun, kata Siti, akan dibahas dalam rapat koordinasi percepatan pencapaian RAPS pada November mendatang.

Siti mengatakan, untuk calon hutan adat dengan seluruh persyaratan yang sudah lengkap, KLHK akan memverifikasi seluas 107,2 ribu hektare yang dikelola 28 komunitas. Sedangkan untuk kelompok hutan adat yang belum memiliki persyaratan seperti peraturan daerah (Perda) atau surat keputusan kepala daerah mencapai seluas 1,5 juta hektare yang diakses sebanyak 49 komunitas. Selanjutnya, usulan hutan adat yang belum dilengkapi profil masyarakat adat mencapai seluas 285 ribu hektare yang dikelola 21 komunitas adat.

“Pertanyaannya itu bagaimana jalan keluarnya bagi masyarakat adat yang belum memiliki peraturan daerah seperti yang disyaratkan,” kata Siti, Jakarta, Selasa (31/10).

BACA JUGA: Pemerintah akan Terus Menjalankan Reforma Agraria Melalui Perhutanan Sosial

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Simbolinggi, sempat mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menyelesaikan konflik masyarakat adat. “Ada 5,6 juta hektare usulan hutan adat yang ada di dalam kawasan hutan negara dan seluas 1,75 juta hektare di luar kawasan hutan, tapi peta usulan kami belum ditindaklanjuti,” kata Rukka.

Namun Rukka tetap mengapresiasi kehadiran negara dalam menetapkan 16 ribu hektare hutan adat, meski angka tersebut masih sangat kecil. Program RAPS sengaja dirancang pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk mengatasi ketimpangan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Pemerintah pun berkomitmen mendistribusikan lahan seluas 9 juta hektare lewat program Reforma Agraria dan akses terhadap 12,7 juta hektare hutan lewat program Perhutanan Sosial.

Staf Khusus Kepala Staf Kepresidenan, Noer Fauzi Rachman, mengatakan, pemerintah memang sudah berkomitmen untuk mewujudkan hak-hak rakyat atas tanah dan memperbesar kemampuan rakyat dalam memeroleh akses pada sumber daya di kawasan hutan negara. Namun untuk itu, diperlukan partisipasi masyarakat yang langsung, luas dan aktif dengan wadah dan tata cara yang cocok sehingga tidak bergantung pada kualitas keberpihakan pejabat pemerintah, baik pusat dan daerah.

“Peta indikatif alokasi kawasan hutan untuk penyediaan sumber tanah obyek reforma agraria, dan peta indikatif areal perhutanan sosial adalah alat pemerintah dalam bentuk SK Menteri LHK yang harus disambut dengan pembentukan cara-cara baru dari pemerintah daerah,” kata Noer.

Cara-cara tersebut, lanjutnya, antara lain dengan mengorganisir desa, masyarakat adat dan lokal lainnya untuk identifikasi, pemetaan dan pengusulan dari bawah.

“Legalitas, redistribusi tanah, serta perhutanan sosial bukan hanya pengurusan legalitas hak dan perolehan izin. Hal ini adalah suatu permulaan dan merupakan landasan untuk tata guna tanah berkelanjutan, serta sistem produksi yang mampu membuat rakyat menjadi lebih baik kondisi ekonomi dan ekologinya,” jelasnya lagi.

BACA JUGA: KLHK Bentuk Pokja Percepatan Perhutanan Sosial

Sebagai salah satu bentuk komitmen dalam memastikan program perhutanan sosial agar aman dan tepat sasaran, pemerintah melalui KLHK sendiri telah membentuk Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) yang terdiri dari unsur Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Perguruan Tinggi dan para pihak yang berkaitan dengan perhutanan sosial.

Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Hadi Daryanto, menjelaskan bahwa Pokja PPS ini bertugas untuk melakukan sosialisasi, memfasilitasi, dan memberikan pendampingan kepada masyarakat sasaran sampai ke tingkat tapak; untuk melakukan kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara lestari dan pengembangan usaha; serta membantu pemerintah dalam memverifikasi permohonan pemberian akses.

Selain itu, Hadi menerangkan bahwa keberadaan Pokja PPS berfungsi sebagai wadah belajar bersama tentang perhutanan sosial dengan mengembangkan sekolah lapang, serta membantu pemerintah dalam melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan program perhutanan sosial.

“Saat ini telah terbentuk 21 Pokja PPS Provinsi yang disahkan melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur, 5 Pokja PPS sedang proses pengesahan, dan di 8 provinsi masih dalam proses pembentukan. Dari ke 21 Pokja PPS yang telah terbentuk, sebanyak 8 Pokja PPS telah menyusun rencana kerja,” pungkasnya.

Sebagai informasi, capaian Perhutanan Sosial sampai saat ini adalah 1.079.137,07 Ha yang terdiri dari 268 unit Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) seluas 494.600,83 Ha, 633 unit Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) seluas 255.741,67 Ha, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) sebanyak 2.845 unit seluas 236.906,90 Ha, dan Kemitraan Kehutanan sebanyak 168 unit seluas 77.652,43 Ha. Sedangkan untuk Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) telah terdata sebanyak 8 unit seluas 5.439,9 Ha dan Hutan Adat sebanyak 10 unit seluas 8.795,34 Ha.

Penulis: Danny Kosasih

Top