Kisruh Pembangunan PLTU Batang, Pemerintah Diminta Tidak Otoriter

Reading time: 2 menit

SEMARANG (Greeners) –Greenpeace mengajukan keberatan kepada investor PLTU Batang. Organisasi yang peduli masalah lingkungan ini menunjukkan bukti-bukti bahaya dan pelanggaran pembangunan PLTU Batang di wilayah Jawa Tengah.

Team Leader Climate and Energy Campaign, Greenpeace Southeast Asia-Indonesia, Arif Fiyanto, menyatakan, upaya lain yang kini tengah berjalan yakni menggugat ijin analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang kini sedang berjalan.

“Penguatan dan advokasi masyarakat lokal yang menolak tanahnya dijual tetap dilakukan,” kata Arif, dalam seminar nasional bertajuk Dilema Energi untuk Negeri, Dibalik Rencana Pembangunan PLTU Batang, Senin (10/6/2014) di Hotel Grasia, Semarang.

Dalam seminar yang juga dihadiri puluhan warga yang berkonflik, yang berasal dari lima desa ini juga kian menguatkan keyakinan warga akan bahaya keselamatan yang bakal ditimbulkan jika pembangunan PLTU Batang tetap dilanjutkan.

Arif meminta pemerintah mengikuti proses yang terjadi di Batang secara bijak dan tidak otoriter. “Jika warga menolak menjual lahan, tidak boleh ada intimidasi,” katanya.

Ia juga mengungkapkan, adanya dua warga yang kini ditahan pihak berwenang membuktikan adanya upaya kriminalisasi dan politik pecah belah di antara warga. Ia bersama lembaga lingkungan lainnya tetap membela warga dan menunjukkan jika warga tidak bersalah.

Dalam penjelasannya, Arif mengatakan jika proyek raksasa tersebut akan dibangun di lahan seluas 226 hektare di atas lahan pertanian produktif, sawah beririgasi teknis seluas 124,5 hektar, dan perkebunan melati seluas 20 hektar, serta sawah tadah hujan.

PLTU ini, lanjut Arif, juga akan dibangun di Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban, Kabupaten Batang. Salah satu perairan paling kaya ikan di pantai utara Jawa.

Salah satu warga Desa Roban, Nyoto, yang merupakan satu dari lima desa yang saat ini menolak pembangunan PLTU Batang menyatakan mata pencaharian warga berupa nelayan dan bertani dipastikan akan terancam dengan pembangunan ini dan akan menanggung dampaknya berpuluh-puluh tahun lamanya.

Nyoto menjelaskan bahwa penghasilan nelayan juga tergantung dari cuaca dan musim, sehingga ketika musim bagus, maka uang hasil menjual ikan ditabung untuk menyiapkan biaya hidup menghadapi musim buruk dan jarang ikan.“Kami khawatir pembangunan PLTU Batang merusak mata pencaharian kami,” ujar Nyoto.

(G17)

Top