LSM: Co-firing PLTU Solusi Semu Emisi Gas Rumah Kaca

Reading time: 3 menit
Co-firing PLTU Solusi Semu Emisi Gas Rumah Kaca
Pembangkit Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batu bara, Loy Yang Power Station, Victoria, Australia. (Foto: Shutterstock).

Jakarta (Greeners) –Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mendorong pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Salah satu upaya yang Kementerian ESDM tawarkan adalah co-firing pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Metode co-firing ini masuk dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2019-2038.

Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM, Hariyanto, menjelaskan dua bahan baku dalam metode co-firing: biomassa dan batu bara. Metode ini mencampur 5 persen biomassa dari sampah, limbah dan potongan kayu dalam batu bara.

“Sementara ini hasil uji coba dengan kandungan biomassa 5 persen aman dan berjalan dengan baik. Sisanya 95 persen memang masih menggunakan batubara. Tentu masih ada emisi dan polutannya. Tapi dengan co-firing akan menurunkan kadar emisinya,” ujar Hariyanto ketika dihubungi Greeners, Rabu (30/09/2020).

LSM: Co-firing Berpotensi Tambah Masalah Baru

Di lain sisi, Spesialis Data & Informasi Energi Instute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo berpendapat metode co-firing bukanlah solusi jangka panjang.

“Karena bahan bakarnya diganti sebagian dengan biomassa, maka polusi persatuan listrik yang dihasilkan dapat dikurangi. Terutama sulfur dioksida. Sedangkan untuk nitrogen dioksida akan bergantung dari relatif kandungan nitrogen di batubara dibandingkan biomasanya,” ucap Deon.

Deon melanjutkan, co-firing hanya bersifat mengurangi emisi. Metode ini dia nilai kurang tepat untuk memenuhi komitmen Tanah Air dalam Kesepakatan Paris yang menitahkan emisi gas rumah kaca (GRK) nol pada 2050. Menurut Deon, solusi jangka panjang yang harus didorong adalah sumber energi bersih.

Baca juga: Polemik Nuklir dalam Draf RUU Energi Baru Terbarukan

Hal senada disampaikan Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari. Dia mengatakan, pemanfaatan biomassa sebagai campuran batu bara guna mengurangi emisi GRK keliru dan merupakan solusi semu.

Sejauh ini, lanjut Adila, bahan baku sampingan yang digunakan untuk co-firing adalah sampah dan limbah hasil perkebunan, seperti cangkang sawit, palm kernel shell (PKS). Menurutnya, penggunaan sampah dan PKS berpotensi menambah permasalahan baru.

“Upaya co-firing merupakan solusi keliru dan semu untuk memenuhi komitmen iklim Indonesia. Pembakaran untuk menghasilkan listrik, akan melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar,” tutur Adila.

LSM Desak Pemerintah Lakukan Lompatan Besar Energi Baru dan Terbarukan

Artikel Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM mencatat Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah menguji coba metode co-firing. Salah satu lokasi uji coba adalah PLTU Jeranjang, Nusa Tenggara Barat, melalui Indonesia Power. Anak perusahaan PLN lainnya, Pembangkitan Jawa Bali (PJB), telah menguji co-firing di 5 lokasi, yakni di PLTU Paiton, PLTU Indramayu, PLTU Ketapang, PLTU Tenayan dan PLTU Rembang.

Di lain sisi, Adila memaparkan hasil penelitan co-firing yang dia nilai kurang efisien. Dia menjelaskan, pencampuran 5 persen co-firing hanya akan mengurangi emisi GRK sebesar 5,4 persen. Lebih jauh, berdasarkan perhitungan PLN, dibutuhkan 5 juta ton wood pellet atau 738.000 ton pellet sampah untuk mencukupi 1 persen co-firing pada 18.000 MW PLTU batu bara per tahun. Mengingat target PLN untuk penerapan co-firing sebesar 10 persen, maka volume sampah maupun PKS yang dibutuhkan akan lebih besar.

Co-firing PLTU solusi semu.

LSM: Co-firing berpotensi tambah masalah baru. (Ilustrasi: Shutterstock).

Baca juga: Riset: Raksasa Bank Tanah Air Danai Sektor Perusak Hutan

“Akar masalah dari besarnya emisi gas rumah kaca (GRK) kita adalah keberadaan PLTU itu sendiri. Indonesia seharusnya langsung melakukan lompatan besar dari PLTU batu bara ke energi bersih dan terbarukan (EBT),” lanjut Adila.

Lebih jauh, Adila mengacu Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia yang proyeksikan sektor energi sebagai penyumbang emisi terbesar 2030. Di sektor kelistrikan nasional, pembangkit batu bara masih mendominasi sebesar 62%. Jumlah PLTU pun masih akan terus bertambah, baik itu memperbesar kapasitas dari PLTU yang sudah beroperasi (28.000 MW) maupun pembangunan PLTU baru (27.000 MW).

“Bila pemerintah tetap mempertahankan penggunaan batu bara, maka Indonesia pun akan semakin sulit menepati komitmen iklimnya dalam NDC,” ucap Adila.

Adila mengingatkan pemerintah telah memiliki target bauran EBT sebesar 23% pada 2025. Namun, realisasinya masih jauh dari target.

“Saat ini, laju pertumbuhan EBT hanya mencapai 500 MW per tahun atau hanya akan mencapai penambahan sebesar 2.500 MW di 2025. Untuk mencapai target bauran 23% di tahun 2025, dibutuhkan 10.000 MW tambahan kapasitas EBT yang harus dikejar dalam empat tahun ini,” jelas Adila.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Ixora Devi

Top