Melanggar Hukum, Reklamasi Pantai Lohu Diminta Dihentikan

Reading time: 2 menit
pantai lohu
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai reklamasi di Pantai Lohu, NTT melanggar hukum. Foto: greeners.co/Dewi Purningsih

Jakarta (Greeners) – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang merupakan bagian dari Koalisi Selamatkan Pesisir Indonesia (KSPI) menuntut penghentian kegiatan reklamasi di Pantai Lohu, Desa Balauring, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Reklamasi tersebut dinilai melanggar hukum dan tidak memperhatikan kesejahteraan sosial dan budaya dari masyarakat pesisir yang ada di sekitar lokasi.

Data KIARA mencatat sepanjang tahun 2016 ada sekitar 24 proyek reklamasi dan pada tahun 2018 ada 37 proyek reklamasi di wilayah pesisir. Proyek reklamasi tersebut salah satunya berada di Pantai Lohu, Balauring, NTT.

“Kami menemukan kalau proyek berlabel ‘Pojok Cinta’ ini dibuat bukan untuk kepentingan masyarakat dan tidak berangkat atas kebutuhan masyarakat. Artinya (proyek ini) dibuat jauh dari kepentingan masyarakat pesisir,” ujar Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati pada Media Briefing di Jakarta, Jumat (10/08/2018).

BACA JUGA: Greenpeace: Indonesia Belum Berani Memaparkan Keadaan Maritim Sebenarnya 

Susan menilai proyek reklamasi ini lebih mengedepankan hasil investasi akan eksploitasi keindahan alam dan tidak mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat pesisir yang ada disekitar proyek. Hal ini menurutnya bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 tahun 2010 tentang Hak Konstitusional Masyarakat pesisir. Di dalam putusan tersebut terdapat empat hak konstitusional masyarakat pesisir, yakni hak akses, hak kelola, hak menjalankan tradisi yang sudah dilakukan sesuai pengetahuan secara turun-menurun, dan hak atas wilayah pesisir yang bersih dan sehat.

“Di proyek-proyek reklamasi tidak ada yang memperhatikan keempat hak ini. Dari akses saja sudah bermasalah terhadap laut apalagi mendapatkan hak pesisir yang bersih dan sehat,” kata Susan.

Selain itu, secara hukum proyek “Pojok Cita” ini juga melanggar sejumlah aturan yang ada di dalam UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Diantara pasal yang dilanggar adalah Pasal 21 Ayat 1 yang menyatakan “Pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil pada wilayah Masyarakat Hukum Adat oleh Masyarakat Hukum Adat menjadi kewenangan Masyarakat Hukum Adat setempat.”

KIARA juga mencatat adanya penurunan hasil tangkapan ikan yang dialami oleh 175 keluarga nelayan di Desa Balauring. “Setidaknya keluarga nelayan di Desa Balauring kehilangan 60 kg tangkapan ikan atau setara dengan 60 ekor ikan setiap harinya setelah adanya proyek reklamasi tersebut. Sebelumnya, mereka biasa mendapat tangkapan sebanyak 100 ekor ikan atau setara dengan 100 kg,” ujar Susan.

BACA JUGA: Negara Diminta Perhatikan Hak Anak di Wilayah Pesisir

Sementara itu, Ketua WALHI Nusa Tenggara Timur, Umba Wulang, mengatakan bahwa proyek reklamasi “Pojok Cinta” dibuat tidak berdasarkan riset ilmiah dan pertimbangan secara sosial, budaya, dan ekologi.

“Riset itu diperlukan untuk membaca akibat dari proyek reklamasi, apakah berdampak positif atau negatif terhadap masyarakat pesisir,” kata Umba.

Dari sisi ekologis, Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan WALHI, mengatakan bahwa proyek reklamasi tersebut telah merusak bukit-bukit di Kecamatan Omesuri. Ia juga mengingatkan kalau proyek reklamasi seharusnya memperhatikan perspektif bahwa Indonesia rentan bencana ekologis.

“Bukit-bukit ditambang, dan pasirnya diambil untuk material urukan. Saat ini sebanyak 300 ribu meter kubik pasir telah ditambang dan dijadikan bahan urukan reklamasi. Jika tidak dihentikan, penambangan ini akan menyebabkan longsor dan membahayakan masyarakat,” katanya.

Penulis: Dewi Purningsih

Top