Orangutan Tapanuli Dipublikasikan di Jurnal Internasional

Reading time: 3 menit
orangutan tapanuli
Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Hasil penelitian populasi orangutan Sumatera di habitat terisolir ekosistem Batang Toru yang tersebar di tiga kabupaten Tapanuli, Sumatera Utara dan diakui sebagai spesies baru dari kelompok genus Orangutan, pada Jumat (03/11) ini akhirnya dilaporkan dan dipublikasikan pada salah satu jurnal internasional terkemuka, Current Biology. Jenis Orangutan baru dengan nama ilmiah Pongo tapanuliensis atau Orangutan Tapanuli ini juga dinobatkan sebagai spesies orangutan ketiga setelah Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) dan Orangutan Sumatera (Pongo abelii).

Hasil penelitian ini berawal dari kerjasama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Nasional (Unas), Forum Orangutan Indonesia (Forina), Yayasan Ekosistem Lestari-Program Konservasi Orangutan Sumatera (YEL-SOCP), beberapa universitas di mancanegara serta peneliti-peneliti yang bergerak di bidang genomik-genetika konservasi, morfologi, ekologi, dan perilaku primata yang akhirnya menyimpulkan bahwa populasi orangutan di Batang Toru tersebut merupakan spesies baru.

BACA JUGA: Balitbang KLHK Bangun Pusat Penelitian Orangutan

Peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr. Puji Rianti menceritakan bahwa orangutan tapanuli sebelumnya telah dianggap sebagai populasi orangutan paling selatan dari orangutan sumatera, yaitu Pongo abelii. Namun berdasarkan penelitian secara mendalam oleh kelompok peneliti Indonesia dan mancanegara dalam bidang genetika, morfologi, ekologi dan perilaku, ternyata orangutan tapanuli secara taksonomi malah lebih dekat dengan orangutan kalimantan, yaitu Pongo pygmaeus.

“Ada indikasi juga kalau orangutan tapanuli ini merupakan moyang dari ketiga kera besar tersebut. Spesies baru orangutan itu kan ditemukan pada 1997, dan penelitian dilanjutkan pada 2007 mengenai jumlah populasi dan genetika. Selanjutnya baru pada 2016, KLHK bersama tim peneliti menyelesaikan semua penelitian terhadap orangutan tapanuli,” jelasnya di Jakarta, Jumat (03/10).

Spesies baru

Bukti pertama yang mengukuhkan primata yang hanya tersisa kurang dari 800 individu ini sebagai spesies baru bisa dilihat dengan terpaparnya perbedaan genetik yang sangat besar di antara ketiga jenis orangutan. Orangutan Tapanuli diduga merupakan keturunan langsung dari nenek moyang orangutan yang bermigrasi dari dataran asia pada masa Pleistosen atau kurang lebih sejak 3,4 juta tahun silam.

Perbedaan lain terlihat dari ukuran tengkorak dan tulang rahang yang lebih kecil dibandingkan dengan kedua spesies orangutan lainnya. Rambut orangutan tapanuli pun lebih tebal dan keriting. Berdasarkan studi perilaku dan ekologi, orangutan tapanuli juga diketahui memiliki jenis panggilan jarak jauh atau long call yang berbeda dengan dua spesies orangutan yang lain. Satwa ini juga memakan jenis tumbuhan yang belum pernah tercatat sebagai jenis pakan, termasuk biji aturmangan (casuarinaceae), buah sampinur tali/bunga (Podocarpaceae) dan agatis (Araucariaceae).

Ekosistem Batang Toru sendiri memiliki luas 150.000 hektar, namun wilayah yang didiami oleh orangutan tapanuli kurang dari 110.000 hektar (1.100 km persegi). Sekitar 85 persen dari wilayah persebaran orangutan tapanuli ini berstatus Hutan Lindung dan 15 persen hutan primernya masih berstatus Areal Penggunaan Lain (APL). Populasi mereka terpecah dalam dua kawasan utama (blok barat dan blok timur) oleh lembah patahan Sumatera, dan juga ada populasi kecil di Cagar Alam Sibual-bual di sebelah tenggara blok barat.

Belum terlindungi

Proses berkembangbiakannya pun tergolong lambat. Sang betina baru akan memiliki anak pertama di umur 15 tahun, dengan jarak antar melahirkan anak sekitar 8 atau 9 tahun. Harapan hidupnya sendiri antara 50 sampai 60 tahun.

“Orangutan Tapanuli ini juga akan dimasukkan ke dalam daftar spesies sangat terancam punah (Critically Endangered) berdasarkan daftar merah IUCN (International Union for Conservation of Nature),” terangnya.

Peneliti dari Forum Orangutan Indonesia (Forina), Suci Utami Atmoko mengatakan bahwa orangutan pada dasarnya bereproduksi secara lambat dengan jangka waktu 5 hingga 7 tahun antar tiap kelahiran. Artinya, jika kehilangan beberapa individu saja dalam suatu populasi akan sangat mengancam kelangsungan hidup orangutan jangka panjang. Misalnya, kehilangan hanya 1 persen dari populasi setiap tahun dapat dapat berakibat fatal bagi keberlangsungan populasi orangutan di masa depan.

Untuk orangutan tapanuli ini, lanjutnya, sangat beruntung karena hidup di dataran tinggi yang terjal dan tidak sesuai untuk pengembangan pertanian dan perkebunan. Namun meski demikian, tetap masih ada potensi ancaman terhadap habitatnya dari proyek pembangunan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), geotermal, pertambangan serta perambahan hutan. Apalagi saat ini, areal terpenting populasi orangutan tapanuli tertinggi hanya berstatus APL sehingga tidak mendapat perlindungan dari pemerintah. Padahal melindungi areal APL ini sangat penting untuk membangun kembali wilayah yang dapat menghubungkan populasi orangutan tapanuli yang telah terfragmentasi.

“Hubungan antara populasi ini sangat penting untuk menghindari kawin silang (inbreeding) yang dapat mengancam keberlangsungan hidup orangutan tapanuli yang hanya tersisa 800 ekor,” tuturnya.

BACA JUGA: 71.820 Orangutan Masih Tersisa di Pulau Sumatera dan Kalimantan

Direktur Jendral Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wiratno mengaku akan segera mengunjungi lokasi untuk meninjau seberapa besar ancaman yang dihadapi oleh kera besar tersebut. Saat ini, katanya, ancaman terhadap ekosistem Batang Toru memang banyak berasal dari pembangunan industri, perambahan dan perburuan liar, hutan primer yang masih berstatus APL, pembangunan infratsruktur PLTA besar bahkan hingga pertambangan emas,

“Nanti sudah direncakan juga Presiden akan berkunjung ke Tapanuli sana. Kita mau lihat dulu, kita mau cek pembangunan yang ada di sana. Kita mau mengingatkan kalau keberadaan orangutan juga harus dijadikan bagian dalam proses pengambilan keputusan dan mitigasi dari dampak pembangunan proyek apapun di sana. Efektif manajemen di lapangan untuk memastikan tidak ada perburuan, memastikan ada bentuk community patrol juga karena masyarakat bisa membantu menjaga habitat itu. Dan kalau udah lindung, pasti tidak akan ada penebangan pohon, yang APL itu akan saya lihat juga kemungkinannya jadi fungsi lindung,” pungkasnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top