Mikroplastik Merugikan Kesehatan Ekosistem Perairan Dangkal

Reading time: 3 menit
petani garam
Petani Garam Protes Kebijakan Impor 3 Juta Ton Garam. Foto: Shutterstock.

Jakarta (Greeners) – Indonesia teridentifikasi sebagai penghasil garam dapur dengan kandungan mikroplastik tertinggi di dunia. Studi yang dilakukan oleh Profesor Dr. Akbar Tahir, Ketua Riset Sampah Plastik di Lautan, Universitas Hasanuddin tersebut diambil dari sampel garam yang berada di Madura. Lebih dari 600 partikel mikroplastik per kilogram diketahui terkandung di dalamnya.

“Kami juga melakukan penelitian tahun 2018 di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, salah satu sentra garam dapur. Dari 12 sampel garam yang kami ambil, 7 sampel garam terkontaminasi mikroplastik,” ujar Akbar, Kamis (11/06/2020).

Akbar juga melakukan studi tentang kontaminasi mikroplastik di padang lamun, Kepulauan Spermonde Makassar. Sampel yang diambil berupa air, sedimen, dan garam yang dilarutkan serta disaring pada gelas microfiber. Setelah itu sampel diproses untuk diamati hingga ditentukan polimernya. Dari 81 sampel sedimen yang dikumpulkan di lamun yang berbeda, sebanyak 22 di antaranya terkontaminasi positif mikroplastik. “Kita juga mengambil sampel beberapa biota laut baik ikan maupun bulu babi, semuanya tercemar mikroplastik,” ujarnya.

Baca juga: Pemerintah Akan Jadikan Kalimantan Tengah Lokasi Food Estate

Ia menyebut biota laut di pulau kecil Spermonde terkontaminasi mikroplastik dan mengancam jaringan makanan. Menurutnya plastik berukuran mikro sangat merugikan rantai makanan dan kesehatan ekosistem perairan dangkal. Karena partikel tersebut masuk dan menyebar di semua jalan rantai makanan manusia sebagai vektor.

Tanaman lamun dipilih sebagai objek riset karena termasuk tanaman berbunga yang sesuai dengan kehidupan di lautan. Eksosistem lamun juga berperan penting dalam penyaringan air, penyediaan habitat, lahan pembibitan ikan, dan pendukung keanekaragaman hayati. “Mereka adalah satu-satunya angiosperma yang mampu bertahan terhadap keberadaan garam,” ujarnya.

Mikroplastik

Foto: shutterstock.com

Kepulauan Spermonde di Selat Makassar, Indonesia, terdiri dari pulau-pulau kecil dengan banyak padang lamun multispesies yang diamati, seperti Halophila ovalis, Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium dan Halodule uninervis. Akbar melakukan penelitian tersebut di tiga pulau kecil, yaitu Pulau Kodingareng Lompo, Bone Tambung, dan Langkai dengan jarak antara 12 hingga 28 kilometer di sebelah barat Kota Makassar dan pantai barat Sulawesi Selatan.

“Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi polusi plastik saat ini dan dampaknya terhadap kesehatan ekosistem yang berpotensi memengaruhi ketahanan pangan manusia di Kota Makassar atau di seluruh Indonesia,” kata dia.

Fokus Pada Pengurangan Sampah Bukan Penanganan

Kepala Subdirektorat Barang dan Kemasan Direktorat Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ujang Solihin Sidik mengataka  pemerintah tengah mempersiapkan perubahan pengelolaan sampah. Penanganan sampah, kata dia, akan diubah menjadi pengurangan konsumsi sampah.

Ia menuturkan bahwa pengelolaan sampah memiliki dua pendekatan, yakni pengurangan dan penanganan. Menurutnya pemerintah baru berfokus pada penanganan atau hanya menunggu sampah datang dan membersihkan. Padahal dalam hierarki pengelolaan sampah, pengurangan merupakan hal yang paling utama.

Baca juga: Peneliti: 5 Rejimen Kombinasi Obat Berpotensi Menghambat Virus Covid-19

“Pengelolaan sampah terutama di pulau-pulau kecil harus diubah pendekatannya. Ke depan kami fokus ke pengurangan jangan ke penanganan. Kuncinya memang ada di masyarakat, makanya kita harus berikan komunikasi, informasi, dan edukasi publik,” ujarnya.

Menurutnya, jika penanganan sampah berbasis teknologi dilakukan untuk mengelola, cenderung akan gagal terus-menerus. Ia menjelaskan, contohnya, di Pulau Mesa, Nusa Tenggara Timur yang pulaunya penuh dengan manusia dan rumah. Meskipun dilakukan pendekatan dengan pembuatan kompos dan bank sampah, hasilnya tidak berjalan.

“Kami berpikir bagaimana bisa mengajak produsen untuk membangun bulk store supaya (masyarakat di pulau kecil) tidak membeli sachet lagi dan bisa refill kebutuhan sehari-hari dengan cukup membawa wadah dari rumah,” ujar laki-laki yang disapa Pak Uso ini.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Devi Anggar Oktaviani

Top