Minyak Jelantah Berpotensi Jadi Bahan Bakar Pesawat Ramah Lingkungan

Reading time: 2 menit
Minyak jelantah. Foto: Freepik
Minyak jelantah. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Minyak goreng bekas atau jelantah menyimpan potensi besar sebagai sumber energi baru terbarukan. Bahkan, jelantah bisa untuk kebutuhan strategis seperti Sustainable Aviation Fuel (SAF), yaitu bahan bakar pesawat ramah lingkungan.

SAF saat ini menjadi bagian penting dari strategi global untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2050. Industri penerbangan menargetkan pengurangan emisi karbon hingga 11,5 giga ton, salah satunya dengan beralih dari bahan bakar fosil seperti avtur ke bahan bakar terbarukan yang lebih ramah lingkungan.

Arif Rahman dari Program Postdoc Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) 2023-2025, mengungkapkan salah satu bahan baku yang potensial untuk SAF adalah Used Cooking Oil (UCO) atau minyak jelantah, serta Palm Fatty Acid Distillate (PFAD). Keduanya termasuk limbah potensial dalam jalur produksi Hydro-processed Esters and Fatty Acids (HEFA) generasi berikutnya.

BACA JUGA: Manfaatkan Minyak Jelantah untuk 4 Hal Ini

Arif menyebutkan, SAF mampu menurunkan emisi hingga 718 mega ton COβ‚‚ pada tahun 2050. Sementara itu, kebutuhan SAF secara global dapat mencapai 449 miliar liter per tahun.

Indonesia pun telah memiliki peta jalan pengembangan SAF. Fokus utamanya adalah dekarbonisasi sektor aviasi, kedaulatan energi, dan penciptaan nilai ekonomi dari hilirisasi serta ekspor.

Akan tetapi, saat ini produksi SAF di Indonesia masih bergantung pada jalur HEFA, dengan menggunakan Palm Kernel Oil (PKO) sebagai bahan baku yang belum ramah lingkungan. Oleh karena itu, Research and Development (RnD) terhadap berbagai jenis bahan baku untuk SAF dengan metode HEFA ini harus terus dilakukan.

Terbaik di Dunia

Ketua Asosiasi Pengumpul Jelantah untuk Energi Baru Terbarukan Indonesia (APJETI) Matias Tumanggor mengatakan, bahwa kualitas minyak jelantah di Indonesia terbaik di dunia.

β€œHal ini sebagai pengakuan dari mitra di luar negeri, dan terbukti dengan sertifikasi halal oleh setiap hotel, restoran, dan kafe. Bahan yang mereka gunakan adalah 95 persen minyak goreng berbahan nabati, karena asasnya adalah halal,” ujar Matias di Jakarta, Rabu (16/4).

Sayangnya, hingga kini pemanfaatan jelantah di Indonesia belum optimal. Sebagian besar minyak jelantah pemanfaatannya hanya untuk kebutuhan lokal seperti bahan sabun, lilin, dan produk turunan lainnya.

Belum Terlepas dari Tantangan

Matias juga memetakan rantai pasok minyak jelantah atau Used Cooking Oil (UCO) dari hulu ke hilir. Menurutnya, salah satu tantangannya adalah belum adanya regulasi, sehingga kerap kali dianggap melakukan penyalahgunaan. Selain itu, ketidakpastian pemanfaatan dalam negeri, serta banyaknya pelaku usaha yang tidak terorganisasi dan bersifat ilegal juga menjadi kendala.

β€œUntuk mengatasinya, kami memiliki strategi pengumpulan dengan melahirkan pelaku usaha yang teredukasi dan terorganisasi dari desa sampai provinsi,” ujar Matias.

BACA JUGA: Minyak Jelantah Berpeluang Menjadi Biodiesel

Ia menambahkan, pihaknya juga terus mendorong sosialisasi ke masyarakat. Salah satunya berkolaborasi dengan komunitas, organisasi masyarakat, serta Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Kolaborasi ini bertujuan agar wilayah pengumpulan bisa meluas hingga ke pelosok.

Sejauh ini, sumber jelantah yang terkumpul berasal dari berbagai sektor. Mulai dari rumah tangga, baik melalui bank sampah maupun sistem door to door.

Selain itu, sektor industri makanan dan minuman seperti hotel, restoran, dan kafe juga menjadi penyumbang utama. Kemudian, UMKM, kantin, dan bahkan industri pertambangan juga turut berkontribusi dalam rantai pasok UCO.

Matias juga menyebut peran pedagang kaki lima, khususnya penjual gorengan, cukup signifikan. Termasuk dalam penanganan limbah ampas penggorengan dan produk seperti kerupuk atau keripik yang sudah kedaluwarsa.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top