Jakarta (Greeners) – Bupati Sidoarjo, Subandi, secara tegas melarang pembakaran sampah plastik serta limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di sentra produksi tahu Desa Tropodo. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo memberikan waktu dua minggu kepada para pengusaha tahu untuk menghentikan praktik pembakaran tersebut dan segera beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sidoarjo juga menegaskan bahwa setelah masa tenggang dua minggu berakhir, pihak kepolisian dan pemerintah daerah akan menindak pelaku usaha yang masih membakar sampah plastik dan limbah B3. Mereka akan memberikan sanksi tegas bagi pelaku usaha yang melanggar.
Langkah ini juga berdasarkan pertemuan dengan Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton). Dalam pertemuan ini, pemerintah menyampaikan inisiatif untuk menyediakan bahan bakar alternatif serta merancang tungku pembakaran yang lebih efisien, seperti penggunaan kayu atau bahan bakar biomassa lainnya.
“Pemerintah juga mengkaji penggunaan bahan bakar gas sebagai opsi pengganti,” ujar Founder Ecoton, Prigi Arisandi, Senin (19/5).
BACA JUGA: Seruan Penolakan Pembakaran Sampah Plastik di Tropodo Menggema di Sidoarjo
Meski demikian, suasana Desa Tropodo sampai saat ini belum terlepas dari kabut asap pembakaran sampah plastik bahan bakar pembuatan tahu. Sebanyak 51 pabrik pembuat tahu beroperasi di Desa Tropodo dan menghasilkan asap hitam pekat dari pembakaran sampah yang berasal dari sampah impor negara-negara maju.
Direktur Eksekutif Ecoton, Daru Setyorini menjelaskan bahwa pembakaran sampah plastik ini menyebabkan kontaminasi dioksin dan mikroplastik ke dalam rantai makanan serta ingkungan. Bahkan, bisa mengancam kesehatan masyarakat.
“Asap pekat dan aroma menyengat penyebab tenggorokan kering ini berasal dari pembakaran plastik sebagai bahan bakar utama dari proses pembuatan tahu. Meski sudah ada larangan, pengusaha tahu dengan alasan ekonomis mengabaikan larangan dan tetap menggunakan sampah plastik untuk bahan bakar,” kata Daru.
Tingginya Dioksin di Desa Tropodo
Sementara itu, Desa Tropodo juga menjadi tempat terkontaminasi dioksin tertinggi kedua di Asia. Contohnya, kadar dioksin dalam telur ayam kampung telahΒ mencapai 200pq TEQ G-1 lemak atau 80 kali lipat di bandingkan 2.5 pq TEQ G-1 (Standar WHO).
Penelitian Ecoton 17 Mei 2025 menyebutkan bahwa polusi PM 2.5 mencapai 1063 ug/m3 melampaui jauh baku Mutu PP 22/2021 sebesar 55 ug/m3. Di udara Tropodo, Ecoton juga mendeteksi adanya kontaminasi mikroplastik sebesar 25 partikel/m2. Keberadaan mikroplastik ini berasal dari pembakaran plastik yang tidak sempurna.
“Keberadaan mikroplastik di udara menyebabkan tingginya penderita ISPA di Desa Tropodo akibat iritasi dan infeksi organ penafasan,” tambah Daru.
Hasil pengukuran udara ambien di sekitar boiler barbahan bakar campuran plastik, mengindikasikan total partikulat PM2,5 16β35 kali dan PM10 sebesar 9-19 kali lebih tinggi dari baku mutu kualitas udara ambien. Sementara, hasil pengukuran udara ambien di sekitar tungku penggorengan tahu berbahan bakar plastik, mengindikasikan total partikulat PM2,5 sebanyak 16-28 kali dan PM10 sebanyak 9-14 kali lebih tinggi dari baku mutu kualitas udara ambien.
Daru mengatakan bahwa tingginya kandungan PM2,5 dan PM10 sangat membahayakan kesehatan para pekerja dan masyarakat sekitar. Sebab, partikel berukuran sangat kecil dapat terhirup dengan mudah masuk ke dalam paru-paru dan aliran darah. Sehingga, menyebabkan gangguan pernafasan, jantung, gangguan sistem hormone, gangguan organ reproduksi hingga memicu kanker.
Desakan Ecoton
Menanggapi permasalahan ini, Ecoton meminta pemerintah agar lebih serius mencari solusi bagi para pengusaha tahu. Apalagi, mereka selama ini telah menjadi ikon daerah tersebut.
Ecoton berharap pemerintah dapat memberikan pembinaan dan asistensi kepada para pelaku industri tahu untuk membenahi proses produksi. Selain itu, perlu penetapan standar kualitas dalam proses dan produk tahu. Hal ini termasuk jaminan kebersihan serta perlindungan kesehatan bagi para pekerja dan masyarakat di sekitar area produksi.
Selain itu, Ecoton juga mendorong pemerintah agar menyediakan tempat pengumpulan sampah biomassa sebagai bahan bakar alternatif. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan energi dalam proses produksi tahu.
BACA JUGA: Pemerintah Tindak Lanjuti Temuan Telur Berdioksin di Jawa Timur
Mereka juga mendesak DLH Sidoarjo untuk membangun pusat pengolahan sampah organik menjadi biogas. Hal ini dapat menjadi proyek percontohan (pilot project) dalam pemanfaatan sumber energi ramah lingkungan. Inisiatif ini sekaligus mendorong peningkatan pengolahan sampah organik di Kecamatan Krian.
Ecoton juga mendesak DLH Sidoarjo untuk menertibkan dan membersihkan limbah B3 dan sampah plastik. Sampah tersebut berasal dari industri dengan dalih memberikan bahan bakar murah. Menurut Ecoton, pembuangan limbah industri ke sentra produksi tahu merupakan tindakan yang melanggar hukum sehingga harus segera ada penindakan.
Sebagai langkah preventif, Ecoton meminta agar DLH Sidoarjo segera membentuk Tim Satgas Anti Tahu Plastik. Tim ini bertugas mengawasi secara intensif praktik pembakaran sampah plastik di Desa Tropodo. Kemudian, tim juga menindak pelaku usaha yang masih membakar plastik dan limbah B3.
Di sisi lain, terkait penemuan timbunan sampah impor di Desa Gedangrowo, DLH Sidoarjo telah mendatangi lokasi tersebut. Mereka juga berdiskusi dengan warga setempat.
Masyarakat pun mulai merasa resah, karena muncul dugaan bahwa tempat pengelolaan sampah impor yang mereka kelola akan tutup. Kekhawatiran ini muncul karena tempat tersebut selama ini menjadi sumber mata pencaharian utama bagi sebagian warga.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia