Penegakan Hukum Lingkungan, Pemahaman Aparat Penegak Hukum Masih Rendah

Reading time: 2 menit
penegak hukum
Ilustrasi: greeners.co

Jakarta (Greeners) – Banyak kasus penegakan hukum lingkungan yang tidak berjalan maksimal baik terkait kebakaran hutan, illegal logging maupun perdagangan satwa liar dilindungi dikatakan oleh Ahli Lingkungan Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo, merupakan imbas dari kurangnya pemahaman aparat penegak hukum lingkungan.

Keputusan Polda Riau yang memberhentikan penyidikan kasus 15 perusahaan pembakar hutan beberapa bulan lalu, menurut Bambang cukup membuktikan bahwa penegak hukum masih belum paham betul masalah dan instrumen penegakan hukum yang sesuai untuk menangani kasus kebakaran hutan. Polisi, lanjutnya, bahkan memberhentikan kasus penyidikan dengan alasan kurangnya bukti dan lahan yang terbakar masih dalam status sengketa.

“Kasus karhutla ini bukan yang pertama kali diselidiki oleh Polda dan Polres Riau. Jadi kalau sampai tidak menemukan (bukti) sepertinya tidak mungkin,” ujar Bambang kepada Greeners, Jakarta, Selasa (30/08).

BACA JUGA: PT BMH Menang di Pengadilan, Tim Penegakan Hukum KLHK Diharapkan Lebih Serius

Menurut pria yang pernah menjadi saksi ahli dalam penyidikan PT Riau Jaya Utama dan PT Pan United, dua dari 15 korporasi yang ditetapkan sebagai tersangka karhutla tahun 2015, dalam setiap proses penyidikan, pihak penegak hukum harus terlebih dahulu melakukan kajian dan analisa. Hal ini meliputi penjelasan luas lahan yang terbakar, bagaimana proses kebakaran terjadi, unsur kesengajaan, hingga kerugian yang ditimbulkan dari karhutla tersebut.

Menurut Bambang, hasil temuan telah memaparkan bahwa perusahaan tersebut faktanya tidak memiliki sarana prasarana pencegahan karhutla sehingga mereka tidak dapat mengantisipasi kebakaran hutan yang ada pada wilayah konsesinya. Disamping itu, hasil overlay data letak titik panas dengan data konsesi perusahaan menampilkan bahwa kejadian kebakaran hutan berawal dari dalam wilayah konsesi perusahaan.

Bentuk Tim Independen

Wakil Koordinator Jaringan Kerja untuk Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Made Ali mengatakan, pasca 41 hari sejak diketahui dan 7 bulan setelah SP3 diberikan, pihak kepolisian masih juga belum bisa menerangkan hasil evaluasi terkait dengan penyebab diterbitkannya SP3 oleh Polda Riau.

“Apalagi sejak awal, penerbitan SP3 tanpa diketahui publik. Publik baru tahu tanggal 19 Juli 2016, padahal SP3 dimulai sejak Januari 2016. Sekarang tim Jikalahari sedang mengecek di lokasi ke 15 perusahaan tersebut,” ujarnya.

BACA JUGA: SP3 Perusahaan Pembakar Hutan, Jikalahari Usulkan Kapolri Bentuk Tim Independen

Made Ali juga menyatakan seharusnya Kapolri tidak hanya mendengar informasi dari pihak internal kepolisian saja, namun juga mendengar dari publik. Hal itu, katanya, penting dilakukan terkait dengan upaya Presiden Joko Widodo dalam memberantas mafia hukum.

“Oleh karena itu Kapolri didesak untuk membentuk tim independen guna mengusut penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh Polda Riau pada 15 perusahaan tersebut,” tutupnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top