PT Gag Nikel Kembali Dapat Izin Tambang di Raja Ampat

Reading time: 2 menit
PT Gag Nikel kembali dapat izin tambang di Raja Ampat. Foto: Kementerian ESDM
PT Gag Nikel kembali dapat izin tambang di Raja Ampat. Foto: Kementerian ESDM

Jakarta (Greeners) – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali memberikan izin operasi kepada PT Gag Nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Greenpeace Indonesia menilai langkah ini merupakan pengabaian langsung terhadap ekosistem laut Raja Ampat. Apalagi, pulau tersebut menjadi rumah dari 75 persen spesies terumbu karang dunia.

Keputusan ini juga menjadi kabar buruk bagi upaya #SaveRajaAmpat dari ancaman tambang nikel. Alih-alih mencabut seluruh izin tambang yang membahayakan ekosistem Kepulauan Raja Ampat, pemerintah justru mempertahankan PT Gag Nikel. Bahkan, pemerintah kini memberi lampu hijau bagi perusahaan tersebut untuk kembali beroperasi.

Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas mengatakan bahwa Raja Ampat bukan sekadar harta nasional, melainkan warisan dunia. Menurutnya, memberikan izin tambang untuk beroperasi lagi di wilayah ini menunjukkan keserakahan pemerintah dan korporasi, yang menempatkan perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia di bawah keuntungan ekstraktif jangka pendek.

BACA JUGA: PT Gag Nikel Masih Beroperasi, Pencabutan Izin Tambang Setengah Hati

“Suara masyarakat adat dan komunitas lokal, serta besarnya seruan #SaveRajaAmpat di publik nasional yang menolak tambang di Raja Ampat seharusnya tidak boleh diabaikan,” tegas Arie dalam keterangan tertulisnya, Selasa (9/9).

Arie menambahkan bahwa Greenpeace Indonesia sangat prihatin karena keputusan ini melanggar Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Selain itu, kembalinya operasi tambang juga akan merusak masa depan ekosistem terumbu karang yang kaya di Raja Ampat. Ekosistem tersebut menjadi sumber pangan dan penghidupan jutaan orang sekaligus kebanggaan Indonesia.

“Seakan tidak ada jalan lain, pemerintah terus bergantung pada industri ekstraktif. Padahal, ini hanya menunjukkan miskinnya imajinasi pemerintahan Prabowo dalam membangun ekonomi Indonesia yang adil dan berkelanjutan,” tambah Arie.

Menurut Arie, hal ini adalah bentuk pengkhianatan pemerintah terhadap komitmen iklim Indonesia. Selain itu, jugga memperdalam krisis ekologis yang sudah mengancam negeri ini.

60.000 Orang Lawan Tambang di Raja Ampat

Greenpeace, bersama lebih dari 60.000 orang yang telah menandatangani petisi, berkomitmen untuk terus melawan segala bentuk operasi tambang di Raja Ampat. Dalam petisi ini, mereka mendesak pemerintah segera mencabut izin PT Gag Nikel, serta menghentikan semua rencana penambangan nikel dan pembangunan smelter di Sorong maupun Raja Ampat.

Arie menegaskan bahwa melindungi Raja Ampat berarti melindungi kehidupan bagi rakyat Papua, bagi Indonesia, dan bagi dunia. “Tak ada nikel yang sepadan dengan hancurnya ekosistem Raja Ampat yang disebut-sebut sebagai surga terakhir di Bumi ini,” pungkas Arie.

BACA JUGA: Pulihkan Hak Rakyat dan Lingkungan Pascapencabutan Izin

Sementara itu, Greenpeace Asia Tenggara juga tengah membawa permasalahan tambang nikel di Raja Ampat ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Agustus lalu di Nadi, Fiji. Dalam pertemuan ini, Greenpeace menyoroti pentingnya tata kelola mineral yang adil dan berkelanjutan. Terutama nikel, sebagai bagian dari transisi energi global.

Melalui kampanye #SaveRajaAmpat, Greenpeace mengungkap kerusakan akibat tambang nikel. Mulai dari deforestasi, sedimentasi, polusi laut, hingga perusakan habitat dan pelanggaran hak masyarakat adat Papua.

Greenpeace menegaskan perlunya panduan internasional yang mengatur ketat kewajiban perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia (HAM) dalam rantai pasok mineral. Kebutuhan mineral seperti nikel, kobalt, dan lithium terus meningkat seiring transisi energi. Namun, sering kali menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top