Jakarta (Greneers) – Pemerintah menertibkan tata kelola perizinan dengan mencabut 2.078 izin tambang mineral dan batu bara. Tak hanya itu 192 izin sektor kehutanan seluas 3,1 juta hektare (ha) yang terlantar dan tidak aktif juga turut pemerintah cabut. Namun langkah ini jangan hanya berhenti di situ. Pemerintah harus pula memulihkan hak rakyat dan lingkungan yang terkait semua perizinan tersebut.
Dalam keterangan persnya di Istana Bogor, Kamis (6/1), Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan alasan pencabutan izin usaha tersebut karena perusahan-perusahaan pemilik izin tidak pernah menyampaikan rencana kerja perusahaan. Ketidakaktifan perusahaan-perusahaan tersebut berdampak pada tersanderanya pemanfaatan sumber daya alam guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.
“Izin-izin yang tidak dijalankan, yang tidak produktif, yang dialihkan ke pihak lain, serta yang tidak sesuai dengan peruntukan dan peraturan kita cabut,” kata Jokowi.
Tak hanya itu, pemerintah juga mencabut izin hak guna usaha (HGU) perkebunan yang telantar seluas 34,48 ha. Pembenahan dan penertiban izin ini merupakan bagian integral dari perbaikan tata kelola pemberian izin pertambangan dan kehutanan, juga perizinan lainnya.
“Pemerintah terus melakukan pembenahan-pembenahan dengan memberikan kemudahan izin usaha yang transparan dan akuntabel, tetapi izin-izin yang disalahgunakan pasti akan kami cabut,” tegasnya.
Menurut Jokowi, pemerintah akan memberikan kesempatan pemanfaatan aset pada kelompok masyarakat dan organisasi sosial keagamaan yang produktif. Adapun di dalamnya termasuk petani, pesantren untuk bisa bermitra dengan perusahaan kredibel dan berpengalaman.
Indonesia pun lanjutnya, selalu terbuka bagi bagi para investor yang kredibel dan memiliki rekam jejak dan reputasi yang baik, serta memiliki komitmen untuk ikut menyejahterakan rakyat dan menjaga kelestarian alam.
“Pemerintah terus memperbaiki tata kelola sumber daya alam agar ada pemerataan, transparansi dan hasil untuk mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan dan kerusakan alam,” imbuhnya.
Pemulihan Hak Lingkungan Hidup Setelah Pencabutan Izin
Upaya pemerintah untuk memastikan pembenahan tata kelola izin jangan hanya berhenti di situ. Juru Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Tri Jambore mengingatkan, agar pemerintah tak sekadar melakukan perbaikan bersifat administratif. Akan tetapi, lebih kepada pemulihan lingkungan hidup yang rusak imbas usaha pertambangan yang telah pemerintah cabut izin usahanya.
“Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, kewajiban pemegang izin pertambangan di antaranya menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air. Selain itu juga menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai karakteristik suatu daerah,” kata tri dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat (7/1).
Selain pemulihan lingkungan, aspek hukum pacapencabutan izin menjadi perhatian bersama. Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Raynalodo G Sembiring mengungkapkan, pencabutan izin harus tetap memperhatikan tanggung jawab hukum yang harus korporasi penuhi. Utamanya, bagi korporasi yang pernah terlibat dalam penegakan hukum.
Hal ini mengacu Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2022 Tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan. Terdapat beberapa korporasi yang pernah mendapat sanksi dan bahkan telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
“Korporasi-korporasi itu harus tetap bertanggungjawab untuk membayar ganti rugi, pemulihan lingkungan dan tindakan lainnya. Agenda untuk meminta pertanggungjawaban hukum tersebut penting menjadi agenda tindak lanjut pascapencabutan izin,” tegasnya.
Momentum Penyelesaian Konflik Agraria
Hal yang paling penting selanjutnya adalah bagaimana proses pencabutan izin ini menjadi momentum menyelesaikan konflik-konflik agraria. Konflik tersebut selama ini terjadi antara rakyat dan perusahaan baik milik negara maupun swasta.
Menurut Pengkampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi, Uli Arta Siagian, pemerintah harus membuka informasi perusahaan yang izinnya dicabut dan berkonflik dengan rakyat. Harapannya, tanah-tanah tersebut dapat rakyat peroleh kembali sebagai bentuk pemulihan terhadap hak-haknya yang selama ini terampas negara melalui skema perizinan.
“Jika perusahaan sektor kehutanan terkait selama ini berkonflik dengan rakyat, maka negara harus memastikan pengakuan serta pengembalian wilayah kelola rakyat tersebut kepada rakyat,” tutur Uli.
Ia pun mengingatkan jika konsesi izin tersebut berada di kawasan penting dan genting juga harus mendapat prioritas pemulihan.
Penulis : Ramadani Wahyu