RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Masuk Prioritas Prolegnas 2016

Reading time: 2 menit
Foto: Donald Man/flickr.com

Jakarta (Greeners) – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengapresiasi komitmen Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang menjadikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam sebagai prioritas ketiga dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016.

Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim menjelaskan bahwa Kiara mengapresiasi Presiden Republik Indonesia melalui Surat Nomor R-78/Pres/12/2015 tertanggal 21 Desember 2015 yang telah menunjuk Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk bersama-sama maupun sendiri-sendiri guna mewakili Presiden dalam pembahasan RUU tersebut bersama dengan DPR RI.

Namun, menurut Halim, DPR RI seharusnya memasukkan juga unsur perempuan nelayan/pembudidaya/petambak garam dalam naskah akademik RUU tersebut. Hal itu karena perempuan adalah bagian dari stakeholder yang senantiasa aktif ikut memajukan usaha ikan dan garam.

Pusat Data dan Informasi Kiara pada Januari 2016 mencatat, sejak dilansir pada Desember 2015, petisi dukungan terhadap perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam memperoleh sokongan sebanyak 322 orang dari 20 provinsi, yakni Sumatera Utara, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Maluku, Gorontalo, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Aceh, Sulawesi Tenggara, Lampung, dan Sulawesi Utara.

“Untuk itulah, Kiara bersama dengan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) meminta dukungan kepada masyarakat Indonesia agar Pemerintah dan DPR RI memasukkan perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam sebagai subyek hukum di dalam RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam melalui petisi bertajuk “Dukung Perempuan Mendapatkan Skema Perlindungan dan Pemberdayaan dari Negara” yang dilansir pada tanggal 11 Desember 2015 lalu,” ujar Halim kepada Greeners, Jakarta, Senin (01/02).

Halim juga menyatakan bahwa Kiara menganggap nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam adalah aktor penting dalam penyediaan protein dan mineral yang amat strategis bagi kehidupan bangsa, seperti ikan dan garam. Sebagai aktor penting, selayaknya pemerintah memberikan politik pengakuan dalam bentuk skema perlindungan dan pemberdayaan kepada ketiga aktor tersebut.

Undang-Undang Dasar 1945, terusnya, juga telah mengamanahkan kepada Presiden dan DPR Republik Indonesia untuk memastikan bahwa Pasal 28A-J tentang Hak Asasi Manusia diperoleh oleh seluruh warga negara, tidak terkecuali nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam skala kecil.

Jaminan risiko usaha dan jiwa, serta pemberian subsidi kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam merupakan kewajiban Negara yang dicerminkan melalui alokasi APBN/D. Sedangkan perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam merupakan aktor penting di dalam mata rantai perdagangan ikan dan garam. Hanya saja, di dalam RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, mereka justru ditempatkan sebagai pelengkap, bukan subyek hukum yang juga berhak atas skema perlindungan dan pemberdayaan sesuai dengan keberadaan dan perannya.

“Negara jelas berkewajiban untuk memastikan bahwa mandat (R)UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam dilaksanakan oleh Presiden Republik Indonesia selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dalam konteks inilah, Presiden bersama dengan DPR RI berkewajiban untuk menjamin adanya alokasi anggaran di Kementerian/Lembaga Negara untuk menjalankan skema perlindungan dan pemberdayaan kepada nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam,” pungkasnya.

Sebagai informasi, dalam rapat kerja di Komisi IV, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengungkapkan, keberadaan RUU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam menjadi sangat penting karena bisa menentukan payung hukum dalam perlindungan kepada mereka.

“Dalam hal ini, kami bisa menjamin kepastian hukum bagi mereka. Kemudian, RUU ini juga bisa mewujudkan perlindungan dan pemberdayaan nelayan,” kata Susi.

Penulis: Danny Kosasih

Top