Aktivis Perikanan Tolak UU Cipta Kerja

Reading time: 4 menit
Aktivis Sektor Perikanan Tolak UU Cipta Kerja
Penolakan Undang-undang Cipta Kerja masih belum berakhir. Kali ini giliran aktivis sektor perikanan. Foto: Shutterstock.

Jakarta (Greeners) – Problematika Undang-undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) terkait masalah lingkungan hidup masih terus berlanjut. Sebelumnya Greeners melaporkan temuan Indonesian Center for Environmental Law tentang UU Cipta Kerja yang dinilai melemahkan upaya perlindungan lingkungan hidup. Lalu, Greeners memberitakan protes aktivis sektor tambang atas lelang royalti 0 persen kepada pengusaha. Kali ini, giliran pelaku dan pemerhati sektor perikanan Tanah Air angkat bicara.

Dalam konferensi pers daring Inkonstitusional UU Cipta Kerja dan Masa Depan Masyarakat Bahari, (13/10/2020), Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati, mengemukakan pendapatnya tentang UU Cipta Kerja. Dia mensinyalir UU Cipta Kerja akan meningkatkan praktik penangkapan ikan ilegal, tidak terlaporkan dan tidak terregulasi, Illegal, Unreported and Unregulated Fishing, atau biasa disebut IUU Fishing. Hal ini disebabkan adanya perubahan sanksi yang semakin lemah kepada kapal berbendera asing yang melakukan praktik IUU Fishing dan mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia.

Susan menyatakan apabila sanksi terhadap pelaku IUU Fishing serta Hak Asasi Manusia (HAM) di atas kapal penangkapan ikan hanya bersifat administrasi, maka para pelaku dapat dengan mudah kembali ke dalam industri perikanan dengan nama berbeda. Padahal, kasus pelanggaran HAM bagi para pekerja kapal adalah kasus tertua di sektor ini. Kini, UU Cipta Kerja mendorong perusahaan perikanan asing untuk merekrut warga negara Indonesia sebagai pekerja kapal, minimal 70%.

“Kasus pelanggaran HAM di atas kapal adalah kasus paling tua di sekotar perikanan. Tapi belum ada upaya terintigrasi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di atas kapal. Pertanyaannya, kalau didorong 70% pekerja kapal asing adalah pekerja WNI, bagaimana dengan skema perlindungannya?” tanya Susan.

Aktivis Sektor Perikanan Tolak UU Cipta Kerja

UU No. 31 tahun 2004 Pasal 93 menuliskan dengan jelas sanksi IUU Fishing. Sumber Data: UU No. 31 Tahun 2004. Desainer Grafis: Ordo Dipo.

Aktivis Sektor Perikanan Suarakan Penolakan UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja melemahkan sanksi bagi IUU Fishing dengan sanksi administratif. Sumber Data: UU Cipta Kerja versi 812 Halaman. Desainer Grafis: Ordo Dipo

Baca juga: Peneliti LIPI Tanggapi Temuan 50 Persen Terumbu Karang Rusak di Great Barrier Reefs

Aktivis Sektor Perikanan Kritisi Definisi Abu-abu Nelayan dalam UU Cipta Kerja

Selain persoalan IUU Fishing dan pelanggaran HAM bagi WNI yang bekerja di kapal asing, Susan juga menyoroti definisi abu-abu nelayan dalam Omnibus Law. Dia mereken, definisi abu-abu nelayan akan memengaruhi masyarakat pesisir Tanah Air. Masyarakat pesisir penggerak sektor perikanan yang akan terdampak UU Cipta Kerja termasuk nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, serta masyarakat adat pesisir.

“Ada definisi yang sengaja ditaruh di wilayah abu-abu. Definisi nelayan itu sendiri. Dalam UU Cipta Kerja tidak ada pembatasan nelayan kecil dan besar dalam konteks hak maupun kewajiban. Nelayan kecil harus bertarung dengan para pengusaha besar perikanan. Seperti dalam konteks subsidi BBM dan mengurus izin. Ini adalah catatan merah yang harus dipertegas sebagai alasan menolak Omnibus Law,” tegas Susan.

Susan lalu membandingkan definisi abu-abu ini dengan definisi nelayan dalam UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 (tentang Perikanan), Pasal 1 ayat (11). Regulasi tersebut dengan jelas menyebutkan dan mengkategorikan nelayan kecil adalah yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 5 GT.

“Kriteria yang jelas terhadap nelayan kecil sangat penting karena terkait perlakuan khusus untuk mereka. Seperti berhak mendapat subsidi, modal, dan sebagainya dari pemerintah. Nelayan kecil juga tidak diwajibkan memiliki izin karena menggunakan alat tangkap tradisional yang ramah lingkungan,” ujar Susan pada pernyataan resminya.

Dengan dihapusnya kriteria tersebut berpotensi menimbulkan konflik baru karena nelayan besar juga dapat menikmati perlakuan khusus yang selama ini hanya diberikan terhadap nelayan kecil.

Baca juga: Jatam Tuntut Negara Sibak Aktor di Balik Lubang Tambang Emas Ilegal

UU Cipta Kerja Pangkas Pasal Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan

Tidak hanya itu, Susan menyebut, banyak sekali pasal perlindungan dan pemberdayaan terhadap nelayan yang dipangkas dan diubah narasinya sehingga memberikan ambiguitas persepsi terhadap pasal bersangkutan.

“Dialihkannya kekuasaan oleh Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah juga akan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap beberapa kebijakan yang pada awalnya merupakan kewenangan Pemerintah Daerah, seperti kebijakan RZWP3K yang kemudian kewenangannya diambil alih oleh Pemerintah Pusat. Hal ini tentu akan mempermudah investor untuk mendapatkan perizinan dalam mengeksploitasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil,” ujar Susan.

Susan lalu menyebut eksploitasi sumber daya pesisir yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 30 yang merevisi UU 27 Tahun 2007. UU tersebut menyebut  “Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti Nelayan tradisional, nelayan modern, pembudi daya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan dan masyarakat.”

Aktivis Sektor Perikanan Suarakan Penolakan UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja memangkas pasal perlindungan dan pemberdayaan nelayan. Foto: Shutterstock.

Parid Ridwanuddin, Deputi Pengelolaan Pengetahuan Kiara menggaris bawahi perusahaan pariwisata yang kini masuk ke dalam pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Menurut Parid, hal ini menjadi bagian narasi besar yang mengisyaratkan kawasan darat yakni hutan sudah habis oleh proyek tambang dan sawit. Kini, pesisir dan pulau kecil menjadi incaran eksploitasi.

“Saat ini banyak sekali, proyek strategis nasional yang melibatkan laut sebagai incaran. Seperti di Labuan Bajo; Mandalika yang akan dibangun sirkuit Moto GP menjual keindahan laut; dan Likupang. Pariwisata didorong ke kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil,” ujarnya pada diskusi daring dengan tema “UU Cipta Kerja dan Dampaknya dalam Sektor Perikanan” Minggu (18/10).

KKP Klaim UU Cipta Kerja Mempermudah Nelayan

Hingga berita ini ditulis, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) enggan memberikan pernyataan terhadap kritikan dari Kiara. Namun, melansir rilisnya, KKP memastikan UU Cipta Kerja membawa banyak manfaat bagi nelayan di Indonesia, khususnya nelayan kecil.

Plt. Dirjen Perikanan Tangkap KKP, Muhammad Zaini menjelaskan selama ini, nelayan dengan kapal di atas 10 GT harus mengantongi belasan dokumen perizinan bila ingin melaut secara legal. Izin tersebut di antaranya dari KKP, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Kesehatan. Dengan adanya UU Cipta Kerja, perizinan kini satu pintu melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan. Perizinan lebih sedikit dan masa berlakunya sama.

“UU Cipta Kerja memperhatikan nasib anak buah kapal dan juga buruh harian di pelabuhan. Mereka masuk sebagai kategori nelayan kecil, sehingga berhak mendapat bantuan program pemerintah yang diperuntukkan bagi nelayan,” ujar Zaini.

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebelumnya juga menegaskan, lahirnya UU Cipta Kerja akan memberi banyak manfaat bagi nelayan kecil dan menengah.

“Yang paling banyak diuntungkan nanti adalah masyarakat nelayan itu sendiri. Kepastian usaha mereka, kepastian perizinan mereka, dan kekhawatiran mereka terhadap kriminalisasi di tengah laut juga tidak ada lagi,” ujarnya.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Ixora Devi

Top