Tiga Bank Internasional Biayai Proyek LNG Tangguh Berisiko di Papua

Reading time: 3 menit
Tiga bank internasional membiayai proyek LNG tangguh berisiko di Papua. Foto: Freepik
Tiga bank internasional membiayai proyek LNG tangguh berisiko di Papua. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Seiring dengan kembalinya PT Gag Nikel beroperasi di Raja Ampat, pembangunan fasilitas produksi gas alam cair (LNG) keempat LNG Tangguh menambah daftar panjang proyek ekstraktif yang berisiko tinggi di Papua. Riset terbaru dari Recourse dan Trend Asia menemukan, sejak 2005 tiga Bank Pembangunan Multilateral (MDB) terlibat dalam pengembangan proyek LNG Tangguh, yaitu ADB, IFC, dan AIIB.

Laporan ini mengidentifikasi pinjaman langsung sebesar USD750 juta dari ADB serta dukungan tidak langsung melalui perantara keuangan milik MDB. Setelah ADB memberikan total pinjaman tersebut pada 2005 dan 2016, IFC dan AIIB juga mendukung ekspansinya dengan menyalurkan dana melalui pemberi pinjaman perantara.

“Ketiga bank pembangunan multilateral ini telah berkomitmen untuk menyelaraskan operasi dan investasinya dengan Perjanjian Paris, tapi mereka terus mendanai proyek gas fosil yang merusak iklim,” ujar Juru Kampanye Keuangan dari Recourse, Marjorie Pamintuan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (2/10).

“Kecuali jika mereka memperbaiki kebijakan energinya dengan menghentikan dukungan terhadap gas fosil, MDB akan terus gagal memenuhi komitmennya terhadap masa depan yang bersih dan berkelanjutan,” ujar Juru Kampanye Keuangan dari Recourse, Marjorie Pamintuan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (2/10).

Sejak awal pembangunannya, proyek LNG Tangguh telah menggusur masyarakat adat dari kampung leluhurnya di Tanah Merah. Bahkan, merusak hutan mangrove terbesar di Asia Tenggara, hingga melepas jutaan ton emisi gas rumah kaca. Luas hutan hutan di Papua Barat mencapai 24,5 juta hektare dan merupakan 78 persen dari wilayah Papua.

Hutan ini menyerap sekitar 52 juta ton CO2e setiap tahunnya atau setara dengan total emisi yang Singapura lepaskan. Sementara itu, luas hutan mangrove di Teluk Bintuni, wilayah proyek tersebut beroperasi, mencapai 2,25 juta hektare.

Padahal, hutan di Papua Barat berperan sebagai carbon sink yang paling efektif dan menjaga keseimbangan ekosistem. Hilangnya 136.000 hektar wilayah hutan Papua Barat berdampak pada pelepasan emisi CO2 sekitar 10,7 juta ton pada 2024.

Babat Hutan Mangrove untuk Proyek

Selain itu, tim periset laporan ini menerima konfirmasi dari ADB bahwa terdapat 11 hektare hutan mangrove yang terbabat untuk proyek ini. Emisi proyek LNG Tangguh mencapai 5 juta ton CO2e antara 2010–2015. Bahkan, diperkirakan meningkat menjadi 8 juta ton CO2e setelah Train 3 beroperasi di 2023. Total emisi tersebut empat kali lebih besar dari emisi Timor Leste yang mencapai 2,01 juta ton CO2e di 2022.

Juru Kampanye Energi Trend Asia, Novita Indri mengungkapkan bahwa ekspansi untuk Train 4 serta penambahan kapasitas gas dalam dokumen ketenagalistrikan RUPTL 2025, berpotensi menambah kerusakan lingkungan dan memperlebar ketimpangan di Teluk Bintuni.

“Walaupun MDB telah berkomitmen untuk tidak membiayai proyek energi fosil, dukungan pendanaan ini membawa tanda tanya atas keseriusan komitmen iklim lembaga keuangan tersebut,” ujar Novita.

Penambahan Train 3 untuk proyek yang dioperasikan British Petroleum Berau, anak perusahaan dari British Petroleum. Perusahaan tersebut disebut sebagai salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Papua Barat. Februari lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pertumbuhan ekonomi Papua Barat mencapai 20,80 persen. Angka tersebut menjadi yang tertinggi di Indonesia pada 2024.

Di sisi lain, data BPS Provinsi Papua Barat menyebutkan, persentase penduduk miskin di Papua Barat pada Maret 2024 mencapai 21,66 persen (110,16 ribu orang). Sementara, pada September 2024 terdapat penurunan dengan persentase mencapai 21,09 persen (108,28 ribu orang).

Meski demikian, persentase penurunannya dalam enam bulan masih tergolong kecil. Data BPS untuk presentase pendudukan miskin nasional per September 2024 mencapai 8,57 persen (jumlah penduduk miskin sebesar 24,06 juta orang). Selain itu, persentase penduduk miskin di Teluk Bintuni mencapai 26,99 persen pada 2024. Persentase kemiskinan di Teluk Bintuni dan Papua Barat masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional.

“Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi belum mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Hal ini mengindikasikan manfaat belum terasa bagi masyarakat lokal, terlebih dalam mengentaskan ketimpangan struktural di Papua Barat,” ujar Novita.

Perhatian Besar LNG Tangguh

LNG Tangguh merupakan proyek migas yang menerima perhatian besar dalam masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Dalam pidatonya di sidang PBB ke-80 di New York, presiden menyebutkan bahwa Indonesia yang paling terdampak dalam krisis iklim dan perlu aksi nyata segera.

Langkah ambisius untuk mencapai target iklim harus diperketat menuju COP30. Namun, Indonesia berpotensi sulit untuk mencapai target Perjanjian Paris. Sebab, emisi metana yang dikeluarkan dari proyek gas lebih berbahaya dari CO2.

International Energy Agency (IEA) menyebut, metana dapat memerangkap panas 80 kali lebih banyak daripada CO2 dalam jangka waktu 20 tahun lebih. Emisi tersebut dapat mendorong percepatan krisis iklim.

Novita menegaskan bahwa bank-bank pembangunan multilateral harus berkomitmen untuk mengakhiri semua pendanaan untuk energi fosil. Hal ini termasuk melalui lembaga perantara keuangan.

Para bank tersebut juga harus menghentikan narasi gas sebagai energi transisi. Mereka harus berkomitmen untuk meningkatkan pendanaan publik. Ini penting untuk menduung percepatan transisi dari energi fosil menuju energi terbarukan.

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top