Karhutla Masih Menjadi Persoalan, Beri Sanksi Tegas Berefek Jera

Reading time: 3 menit
Karhutla masih menjadi ancaman saat musim kemarau tiba. Faktor manusia mendominasi penyebab karhutla. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Pemerintah masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah (PR) terkait pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Pembenahan tersebut perlu upaya serius sehingga sanksi tegas dan hukuman dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku pembakar hutan dan lahan. 

Dalam mencapai target nasional untuk pengurangan emisi karbon seperti yang tercantum dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, upaya pengendalian karhutla merupakan komponen vital.

Presiden Jokowi sejak tahun 2016 menegaskan komitmen Indonesia untuk mencegah kebakaran yang pada masa lalu terjadi berulang setiap tahun. Jokowi juga menekankan pentingnya upaya pencegahan dan peringatan dini yang efektif. Selain itu ada reward and punishment, serta mensinergikan upaya semua pemangku kepentingan terkait.

Manajer Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional Wahyu Perdana menyampaikan ada hal yang menjadi catatan melihat upaya pemerintah dalam mengendalikan karhutla ini yaitu dari segi penegakan hukum.

“Kita mencatat PR terbesarnya itu dalam konteks penegakan hukum. Karena kalau identifikasi, membaca lokasi dimana terbakar, teknologi dan kemampuan aparatur negara relatif mumpuni sebenarnya. Tapi begitu ada di lahan konsesi, itu yang kemudian proses hukumnya sering kali sudah berkekuatan hukum tetap tetapi masih lambat,” kata Wahyu kepada Greeners di Jakarta, baru-baru ini.

Wahyu menilai keseriusan pemerintah tidak hanya berdasarkan pernyataannya saja. Tetapi juga perlu memperhatikan regulasi yang pemerintah buat dalam mengendalikan karhutla ini.

“Melihat keseriusan tidak hanya statement pejabat pemerintah tapi kemudian juga dari regulasi yang dibangun. Apa catatannya? Akhirnya pasca munculnya Omnibus Law, proses-proses penegakan hukum menjadi semakin lemah. Sanksi menjadi dominan administratif,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Wahyu menjelaskan dampak yang terjadi apabila penegakan hukum tidak berjalan dengan benar maka karhutla akan terus terjadi.

“Apa dampaknya? Ketika proses penegakan hukumnya tidak konsisten dari proses penegakan hukum sampai eksekusi putusan pengadilan itu berakibat sering kali konsesi yang sama terbakar beberapa kali,” ungkapnya.

Pemerintah Berhasil Menekan Karhutla

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut selama tujuh tahun mampu menekan karhutla mencapai 82 % di tahun 2020.

”Kita bersyukur di tahun 2019 dan tahun 2020, Indonesia bisa terhindar dari duet bencana asap karhutla dan Corona, mengingat cuaca ekstrem yang sedang melanda dunia,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dalam siaran persnya.

Upaya tersebut buah dari penguatan norma, standar dan pengaturan, patroli terpadu di lapangan, kampanye intensif dan peningkatan kesadaran. Selain itu penerapan teknologi modifikasi cuaca, peningkatan infrastruktur untuk pengendalian karhutla, peningkatan kapasitas untuk semua unit pengendalian kebakaran, peringatan deteksi dini dan pemadaman kebakaran yang melibatkan masyarakat lokal, serta upaya penegakan hukum.

Lahan yang terbakar perlu pemulihan agar bisa berfungsi kembali. Foto: Shutterstock

Pembangunan Seimbang dengan Menurunkan Deforestasi dan Emisi

Menteri Siti juga mengingatkan kembali pesan dari Presiden Joko Widodo, bahwa setiap pembangunan yang pemerintah lakukan harus sejalan dengan kebijakan untuk menurunkan deforestasi dan emisi.

”Pesan presiden sudah jelas. harus ada keseimbangan. Presiden Jokowi juga menekankan, setiap Kementerian dalam membangun apapun harus memperhatikan lingkungan dan dampaknya,” ucapnya.

Tujuh tahun terakhir, Indonesia menunjukkan komitmennya menekan angka deforestasi dan penurunan emisi. Hal ini dapat dilihat pada angka deforestasi turun drastis hanya tinggal 115.200 hektare (ha) di tahun 2020. Angka ini menjadi angka deforestasi terendah dalam 20 tahun terakhir.

Pemerintah juga menetapkan moratorium hutan primer dan gambut seluas 66 juta ha. Selain itu juga penataan regulasi, pengendalian dan pemulihan lahan gambut lebih kurang 3,4 juta ha. Ada pula optimasi lahan tidak produktif, penegakan hukum, restorasi, rehabilitasi hutan untuk pengayaan tanaman dan peningkatan serapan karbon.

Tak hanya itu, pemerintah juga melakukan pengendalian hutan tanaman pada sekitar 14 juta ha hutan tanaman dengan antara lain metode reduce impact logging serta pengelolaan perhutanan sosial untuk petani kecil. Hingga saat ini sudah ada sekitar 4,8 juta ha yang telah terdistibusi aksesnya kepada masyarakat.

Penulis : Fitri Annisa

Top