Judul Film | : | Semesta |
Sutradara | : | Chairun Nissa |
Pemain | : | Tjokorda Raka Kerthyasa, Agustinus Pius Inam, Romo Marselus Hasan, Almina Kacili, Muhammad Yusuf, Iskandar Waworuntu, dan Soraya Cassandra |
Rilis | : | 30 Januari 2020 |
Durasi | : | 90 menit |
Film Semesta berkisah tentang tujuh sosok dari tujuh provinsi di Indonesia yang bergerak menekan dampak krisis iklim dengan cara merawat alam atas dorongan agama, kepercayaan, dan budaya masing-masing.
Melalui rangkaian kisah tujuh sosok inspiratif ini, film Semesta mengajak penonton berkeliling sembari menikmati kekayaan alam di Tanah Air. Mulai dari titik ujung barat, yakni Desa Pameu, Aceh, hingga menuju bagian ujung timur Indonesia di Kampung Kapatcol, Papua.
Sejak awal penggarapan, Mandy Marahimin dan Nicholas Saputra yang merupakan pendiri Tanakhir Films merangkap produser mempersiapkan film ini menjadi tayangan dokumenter berbeda. “Jadi, memang kami ingin memfokuskan film ini kepada langkah-langkah yang positif. Makanya di film ini kita tidak membahas hal-hal negatif yang terjadi pada alam, tapi kami fokus kepada memberikan inspirasi. Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu memelankan dampak climate change?” tutur Mandy Marahimin, produser film Semesta, di Jakarta, Rabu, 22 Januari 2020.
Melibatkan Tokoh dari Beragam Provinsi
Mereka yang menjadi sosok protagonis dalam film dipilih setelah melalui proses riset. Pertama, Tjokorda Raka Kerthyasa, tokoh budaya di Ubud, Bali. Segenap umat Hindu menjadikan momentum Hari Raya Nyepi sebagai hari istirahat alam semesta. Sebab, posisi Indonesia saat ini tercatat sebagai salah satu negara penghasil emisi gas rumah kaca yang berkontribusi tinggi terhadap pemanasan global.
Lalu, tokoh di Kalimantan Barat, Agustinus Pius Inam, Kepala Dusun Sungai Utik, yang memastikan pentingnya penduduk desa memahami dan mengikuti tata cara adat serta melindungi maupun melestarikan hutan. Sedangkan Romo Marselus Hasan, Pemimpin Katolik di Bea Muring, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, menyampaikan pesan kepada para jemaatnya untuk berdamai dan melestarikan alam terutama sumber mata air.
Walaupun fokus utama film tentang perubahan iklim, unsur pemberdayaan perempuan dan pengembangan komunitas juga menjadi kisah yang diangkat. Ini tercermin lewat pemilihan Almina Kacili, kepala kelompok wanita gereja di Kapatcol, di Papua Barat.
Sementara di wilayah paling barat Indonesia, dipilih seorang tokoh bernama Muhammad Yusuf. Sehari-hari ia menjadi imam di Desa Pameu, Aceh. Dalam setiap kesempatan, Yusuf gencar memperingatkan penduduk untuk berdamai dengan alam melalui khotbah di masjid.
Penonton akan diperkenalkan dengan figur Iskandar Waworuntu yang bertahun-tahun lalu memutuskan hijrah. Kini, ia hidup dengan memanfaatkan sebidang tanah kering yang diberi nama Bumi Langit.
Film diakhiri dengan kehadiran Soraya Cassandra, petani kota dan pendiri Kebun Kumara, Jakarta. Melalui sebuah kebun yang ia kelola di pinggiran ibu kota, Sandra mengampanyekan prinsip-prinsip belajar dari alam. Ia secara kreatif memanfaatkan tanah di kota menjadi hijau kembali.
Tayang Terbatas
Film yang tayang di mulai 30 Januari 2020 ini, diharapkan tak hanya menjadi pengingat sementara. Namun, juga memantik gerakan menjaga dan memelihara alam secara berkesinambungan.
Distribusi yang cukup besar menjadi alasan mengapa film ini ditayangkan terbatas. “Sejarah perfilman dokumenter Indonesia itu penggemarnya tidak terlalu banyak. Dengan menayangkannya secara serentak itu berarti biaya distribusi akan naik dan kami tidak mempunyai biaya distribusi sebesar itu,” tutur Chairun Nissa, sutradara film Semesta.
Ilun, panggilan akrab Chairun Nissa, juga tidak menutup kemungkinan film ditayangkan di kota-kota lain. “Dengan memfokuskan di tempat-tempat tertentu, harapannya orang-orang akan datang ke tempat yang ada film itu. Tetapi tidak menutup kemungkinan untuk siapapun bisa menonton film itu. Kalau ingin menonton film itu dan di kotanya tidak ditayangkan bisa hubungi kami, kita bisa atur di kota tersebut,” ucapnya.
Semesta adalah debut Tanakhir Films yang memproduksi dokumenter berdurasi panjang. Sebelumnya film ini berhasil menjadi nominasi dalam kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik di Festival Film Indonesia 2018. Film ini juga terseleksi untuk diputar di Suncine International Environmental Film Festival yang berlangsung di Barcelona, Spanyol pada 6-14 November 2019.
Penulis: Krisda Tiofani