Penyebab Kanker Kulit, BMKG dan Dokter Kulit Beda Pendapat

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: Ist.

Jakarta (Greeners) – Paparan sinar Ultra Violet (UV) yang dipancarkan oleh sinar matahari diyakini oleh sebagian orang sebagai penyebab dari timbulnya kanker kulit, termasuk di Indonesia. Namun ternyata anggapan tersebut dibantah oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofosika (BMKG) Indonesia.

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG, Prof. Dr. Edvin Aldrian, Beng., MSc., menyatakan bahwa hubungan antara paparan sinar UV terhadap kanker kulit hanyalah sebuah mitos belaka.

Kanker kulit akibat paparan sinar UV, dikatakan Edvin, mungkin memang akan terjadi di negara-negara beriklim non-tropis (kering) seperti Amerika dan Eropa, namun tidak untuk negara beriklim tropis seperti Indonesia.

“Untuk Indonesia itu hanya mitos saja. Banyak anak-anak yang bermain di pantai maupun sungai atau di mana pun yang langsung terpapar sinar matahari tidak ada yang mengalami kanker kulit,” tegas Edvin kepada Greeners, Jakarta, Senin (21/09).

Terlebih, menurut pria yang juga menjabat sebagai Direktur Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG ini, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki banyak sekali uap air yang berfungsi sebagai bantalan peredam panas.

“Lihat saja orang-orang asing yang datang ke Indonesia, mereka tidak pernah pulang membawa kanker kulit ke negaranya. Paling-paling, ya, menghitam saja,” ujarnya.

Di lain sisi, tanggapan yang berbeda disampaikan oleh Dr. Amaranila Lalita Drijono, Sp.KK. Dermatologist dan Venereologist dari Perempuan Clinic. Ia mengungkapkan bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan memang memiliki banyak sekali bantalan air yang mampu meredam uap panas dan menepis sinar matahari.

Indonesia, dikatakan Nila, sebagai negara khatulistiwa memiliki sifat matahari yang berbeda dengan negara-negara empat musim yang cenderung beriklim kering, yaitu tegak lurus dengan spektrum cahaya yang memiliki sinar Ultra Violet A (UV-A) yang lebih banyak.

“UV-A memang tidak menyebabkan kanker. UV-B itu yang justru menyebabkan kanker karena bisa terjadi mutasi. Tapi untuk di Indonesia sendiri, UV-A yang paling banyak dan sifatnya bisa menembus kaca sedangkan UV-B tidak. Nah, UV-A ini mampu menyebabkan kulit menjadi kecoklatan dan kulit jadi cepat menua,” tuturnya.

Namun, walau dikatakan lebih jinak, UV-A juga bisa sangat berbahaya jika kulit terpapar dalam waktu yang berlebihan. Apalagi jika paparan tersebut didapati tanpa perlindungan, jelas akan merusak sistem kekebalan pada imun di kulit.

“Memang benar UV-B yang ditakutkan itu yang menyebabkan kanker, tapi untuk UV-A itu juga harus dilihat dari berapa lama kulit terpapar sinar tersebut. Dan, jika dikatakan di Indonesia kanker kulit tidak tinggi, sebetulnya ada benarnya karena pigmen pada kulit orang yang tinggal di daerah khatulistiwa memiliki sistem kekebalan yang lebih baik dari orang yang tidak tinggal di daerah khatulistiwa. Namun, tetap tidak bisa dijadikan dasar kalau di Indonesia tidak ada kanker kulit karena paparan sinar matahari,” ungkapnya.

Indonesia sendiri, terangnya, memiliki beberapa kasus Basal Cell Carcinoma yang merupakan salah satu jenis kanker kulit yang paling sering terjadi. Basal Cell Carcinoma (BCC) sendiri adalah jenis kanker kulit yang terjadi pada sel basal dimana sel ini terletak di bawah lapisan kulit terluar yang paling sering terpapar sinar UV.

Ciri kanker kulit BCC biasanya terlihat pada wajah, telinga, dan kulit kepala. Ciri ini dapat berupa benjolan berbentuk mutiara atau seperti lilin, atau bisa juga terlihat seperti bekas luka yang rata dengan kulit berwarna-warni atau coklat.

“Jadi tidak bisa dikatakan kita tidak punya kasus kanker kulit karena paparan sinar matahari. Memang sistem kekebalan kita lebih baik, tapi kalau terpaparnya itu sangat berlebihan dan berlangsung bertahun-tahun seperti yang terjadi pada petani dan nelayan, itu bisa saja merusak sistem kekebalan tubuh dan sel dalam kulit pun berubah sifat menjadi ganas. Itu lah yang nantinya mampu menyebabkan kanker kulit,” pungkasnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top